Handala, bocah 10 tahun yang menjadi nurani Palestina, memegang bendera sebagai simbol harapan yang tak pernah padam. Karakter ikonik ini adalah inti dari Kisah Naji al-Ali, sebuah manifestasi visual dari pengasingan dan perlawanan yang ia wariskan kepada dunia.
Ada keheningan yang hampa, dan ada keheningan yang beratnya mampu menghancurkan tulang. Keheningan kedua inilah yang menjadi napas dalam setiap goresan tinta Naji al-Ali. Itu adalah keheningan seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun, selamanya membeku dalam waktu, punggungnya menjadi sebuah manifesto yang teriakannya lebih keras daripada ledakan bom. Namanya Handala. Dan penciptanya, Naji al-Ali, menebus keheningan itu dengan jiwanya.
Lupakan biografi. Lupakan tanggal. Guna memahami Naji al-Ali, kita harus belajar bagaimana trauma bisa mencair menjadi tinta, bagaimana pengasingan bisa menjadi satu-satunya Tanah Air yang tersisa, dan bagaimana sebuah gambar sederhana—seorang anak compang-camping—bisa mengguncang istana dan menandatangani surat kematiannya sendiri. Kisahnya tidak berawal dari ketenaran, tetapi dari sebuah retakan yang menggelegar di jantung masa kecilnya; sebuah kehilangan yang akan menjadi hantu dan sekaligus pemandu bagi tangannya hingga akhir.
Kesunyian Al-Shajara
Sebelum menjadi simbol, ia adalah seorang anak laki-laki. Ia menarik napas pertamanya pada tahun 1937, di bawah langit Al-Shajara, sebuah desa di Galilea yang denyutnya adalah ritme musim panen zaitun. Di sana, “Tanah Air” bukanlah slogan politik. Ia adalah aroma tanah basah setelah hujan, rasa manis buah ara yang pecah di lidah, dan kehangatan debu jalanan di telapak kaki yang telanjang. Lalu, pada tahun 1948, musik itu berhenti. Dunia itu meledak.
Nakba. Bencana. Sebuah kata yang terlalu kecil untuk menampung lautan kehilangan. Naji, bocah sepuluh tahun itu, tercerabut dari tanahnya bersama tiga perempat juta jiwa lainnya. Al-Shajara, desanya, dihapus dari peta, diratakan seolah tak pernah ada. Kenangan akan aroma dan rasa itu kini menjadi belati yang menusuk ingatan. Takdir mencampakkannya ke dalam neraka bernama Ain al-Hilweh di Lebanon, sebuah purgatorium dari lumpur dan seng, di mana masa lalu adalah hantu dan masa depan adalah sebuah kemewahan.
Pelampiasan
Di neraka sementara yang menjadi permanen inilah, sang seniman lahir dari abu sang bocah. Kamp itu adalah luka yang tak pernah kering. Di tengah lautan keputusasaan, di antara wajah-wajah yang terukir oleh kehilangan, Naji menemukan senjatanya. Bukan batu, bukan senapan. Sebuah pensil. Dinding-dinding kamp yang lembap menjadi kanvas pertamanya. Ia tidak melukis bunga atau matahari terbit. Ia memuntahkan kemarahan. Ia menggambar penderitaan yang tak terucap, martabat yang terluka dari para tetangganya, dan mata anak-anak yang menua sebelum waktunya.
Goresannya kasar, tanpa ampun, brutal dalam kejujurannya. Ini bukan seni. Ini adalah detak jantung yang menolak berhenti. Ini adalah napas terakhir yang diubah menjadi perlawanan.
Bakatnya yang membara membawanya keluar dari kamp, tetapi kamp itu telah menjadi bagian dari jiwanya, selamanya. Ia mengembara—Lebanon, Kuwait—selalu gelisah, selalu merasa terasing. Penjara tidak membungkamnya. Penjara adalah tungku apinya. Di balik jeruji, ia tidak hanya menajamkan kemarahannya; ia menempa jiwanya menjadi baja. Baginya, netralitas adalah bentuk pengkhianatan tertinggi. “Mereka yang ingin menulis atau menggambar untuk Palestina,” katanya dengan suara serak oleh keyakinan, “harus paham bahwa mereka telah menandatangani surat kematiannya sendiri.” Dia tidak sedang berpuisi. Dia sedang bernubuat.
Kelahiran Handala
Tahun 1969, di Kuwait. Dari ujung pensilnya, sebuah keabadian lahir. Seorang bocah laki-laki, cerminan dirinya yang hilang. Kurus, bajunya bertambal, rambutnya berdiri kaku seperti duri landak—sebuah perisai alami. Kakinya telanjang, sebuah sumpah setia pada tanah yang telah dirampas. Naji menamainya Handala, dari nama tanaman gurun yang pahit dan berduri, yang akan selalu tumbuh kembali sekeras apa pun kau mencabutnya. Awalnya, Handala hanya saksi bisu di sudut kartun, mengamati para politisi munafik dan para jenderal korup.
Lalu datanglah tahun 1973. Sebuah pengkhianatan baru. Sebuah kekecewaan yang lebih dalam. Dan Handala berhenti mengamati. Dia berbalik. Membeku. Tangannya terkunci di belakang punggungnya.
Dunia Arab terhenyak. Itu bukan sekadar pose. Itu adalah gempa bumi visual.
Handala meludahi wajah dunia yang telah mengkhianatinya. Ia menolak menyaksikan wajah para pemimpin yang gagal, menolak berpartisipasi dalam sandiwara kompromi yang menjual impian rakyatnya. Tangannya yang terkunci bukanlah tanda menyerah, melainkan simbol perlawanan yang paling keras kepala. Naji bersumpah, Handala tidak akan pernah menunjukkan wajahnya sampai Palestina kembali. Sampai saat itu, ia akan menjadi nurani yang membeku, saksi dari sebuah kejahatan yang terus berlangsung.
Handala adalah jiwa Naji yang abadi. Bocah sepuluh tahun dari Al-Shajara yang menolak untuk tumbuh dewasa, karena untuk tumbuh berarti menerima kekalahan. Ia adalah pengingat abadi akan dosa asal Nakba. Melalui punggung bocah itu, Naji al-Ali menjadi bilah pisau bedah yang mengiris kebohongan Timur Tengah.
Menghantam Nurani
Setiap hari, karyanya adalah belati yang ditancapkan di jantung kemapanan. Ia memiliki kemampuan sihir untuk menyaring ribuan halaman retorika politik menjadi satu gambar yang menghantam nurani. Karakter-karakternya adalah arketipe sebuah bangsa: Fatima, sang ibu pertiwi yang tegar, dan lelaki kurus berkumis, sang pengungsi yang miskin namun tak terpatahkan. Kontras dengan mereka adalah para tiran gemuk, para jenderal berhias medali palsu, dan para syekh minyak yang berjudi dengan nasib jutaan orang.
Satirenya adalah asam sulfat. Tidak ada sapi suci baginya. Ia menghantam pendudukan Israel dengan kekuatan badai, tetapi ia mencadangkan angin topan yang lebih dahsyat bagi para pemimpin Palestina dan rezim Arab. Ia membidik Yasser Arafat. Ia meludahi kemewahan para syekh. Ia menelanjangi setiap penguasa yang duduk di atas takhta yang dibangun dari penderitaan rakyatnya.
Mereka menawarinya emas yang bisa membeli istana, dan dia menolaknya. Mereka mengancamnya dengan baja yang bisa merenggut nyawa, dan ia menertawakannya. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa diancam, tidak bisa dibungkam.
Hijrah dan Kebangkitan
Tentu saja, pedang setajam itu melukai pemiliknya. Semakin keras suaranya, semakin panjang daftar musuhnya. Ancaman pembunuhan menjadi sarapan paginya. Teman-teman memohonnya untuk berhati-hati. Ia menjawab dengan goresan pensil yang lebih berani. Pada tahun 1985, tekanan politik memaksanya hijrah ke London.
London. Kota berkabut dan anonimitas. Seharusnya sebuah tempat persembunyian. Tapi tidak ada tempat persembunyian bagi seorang pria yang telah menjadi nurani sebuah bangsa. Ia terus menggambar, karyanya semakin tajam, semakin profetik. Seolah-olah ia bisa mendengar langkah kaki sang takdir mendekat.
Rabu, 22 Juli 1987. Siang yang sibuk di Knightsbridge. Naji al-Ali, pria berusia 50 tahun dengan mata seorang veteran seribu perang, berjalan menuju kantornya. Di tengah keramaian London, mungkin jiwanya sedang menyusuri lorong berlumpur di Ain al-Hilweh.
Satu letusan kecil, nyaris teredam oleh hiruk pikuk kota. Bukan suara yang mengguncang dunia, hanya bisikan logam panas. Sebuah sengatan di pelipisnya. Lalu, dunia tidak lagi tegak lurus. Trotoar London yang asing dan dingin melesat menyambut wajah seorang pria yang sepanjang hidupnya hanya merindukan kehangatan tanah Galilea.
Selama lima minggu, ia bergantung pada seutas benang kehidupan. Dunia Arab menahan napas. Doa-doa dari kamp pengungsi membumbung ke langit. Pada 29 Agustus 1987, benang itu putus. Jantung Naji al-Ali berhenti berdetak.
Siapa pembunuhnya? Mossad? Faksi Palestina? Rezim Arab yang gemetar ketakutan? Daftar tersangka adalah daftar musuhnya. Mungkin, pada akhirnya, itu tidak penting. Mereka semua menarik pelatuknya.
Betapa bodohnya mereka. Dengan membunuhnya, mereka justru membuatnya abadi. Mereka mengubah seorang pria fana menjadi mitos. Dan yang terpenting, mereka membebaskan Handala.
Simbol Perlawanan
Anak itu melompat dari kertas, keluar dari bingkai kartun. Punggungnya yang kecil dan menantang meledak menjadi jutaan kopi. Ia muncul di tembok apartheid di Tepi Barat, di kaos demonstran di Kairo, di mural di Belfast. Ia tidak lagi milik Naji. Ia adalah milik setiap jiwa yang dikhinati, setiap orang yang menolak untuk tunduk.
Keheningannya kini lebih nyaring dari jutaan pidato. Punggungnya menjadi cermin raksasa yang dipantulkan ke wajah dunia, menunjukkan semua kebusukan dan kemunafikan yang ia tolak untuk lihat.
Kisah Naji al-Ali adalah sebuah tragedi yang memilukan. Tapi jika kita berhenti di sana, kita mengkhianati esensinya. Kisahnya adalah bukti paling kuat bahwa seni bukanlah hiasan. Dalam masa tergelap, seni adalah palu untuk memecahkan kepalsuan. Seni adalah ingatan. Seni adalah nurani.
Mereka membunuh sang seniman, tetapi mereka tidak bisa membunuh gema langkah kakinya. Mereka membungkam suaranya, tetapi keheningan yang ia ciptakan kini berteriak di seluruh penjuru dunia. Di suatu tempat di luar sana, Handala masih berdiri, bertelanjang kaki di atas tanah yang tak pernah ia lupakan, tangannya terkunci di belakang. Ia masih menunggu. Dan dalam penantiannya yang kekal, ia bersumpah kita tidak akan pernah diizinkan untuk lupa.
KANALBERITA.COM - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Yose Rizal Damuri,…
KANALBERITA.COM - Perusahaan perangkat kreatif terkemuka, Canva, baru-baru ini mengumumkan peluncuran model desain AI fundamentalnya…
KANALBERITA.COM - Raksasa otomotif asal Korea Selatan, Hyundai Motor Group, menyatakan minat kuatnya untuk bergabung…
KANALBERITA.COM - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia secara aktif menyiapkan koleksi bahan bacaan bertema gizi,…
KANALBERITA.COM - Rempah jahe telah lama dikenal sebagai bumbu dapur sekaligus obat tradisional, namun bagaimana sebenarnya…
KANALBERITA.COM - Belanda baru saja dinobatkan sebagai negara teraman di dunia untuk bepergian pada tahun…
This website uses cookies.