KANALBERITA.COM – Pemerintah tengah gencar mencanangkan program swasembada pangan sebagai upaya menjaga ketahanan pangan nasional serta mengurangi ketergantungan pada produk impor. Untuk mencapai target tersebut berbagai langkah dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan, baik optimalisasi seluruh sumber daya lahan yang tersedia, penggunaan bibit unggul, dukungan sumber daya manusia yang kompeten serta penggunaan peralatan pertanian.
Namun program swasembada pangan, salah satunya tanaman kedelai, menemui tantangan di lapangan. Sejumlah petani lokal di Kabupaten Sragen, Jawa Tegah mengaku enggan menanam kedelai di lahan mereka dan memilih tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.
Mukhtarul Havid, petani asal Desa Peleman, Kecamatan Gemolong, Sragen, mengatakan, penyebab petani di desanya kurang berminat menanam kedelai karena hasil panennya sulit dijual dan kalah bersaing dengan kedelai impor yang lebih diminati perajin tahu dan tempe. Sebagian besar perajin tahu dan tempe di desanya, ungkap Havid, menggunakan kedelai impor karena rasa dan tekstur yang dihasikan jauh lebih baik.
Kondisi ini membuat para petani kurang tertarik menanam kedelai lokal lantaran nilai ekonominya kurang menjanjikan. Selain itu, meski harga kedelai lokal lebih murah, namun permintaan dari pasar hampir tidak ada. “Kedelai lokal harganya memang lebih murah, tapi gak laku. Tidak hanya tahu dan tempe, susu kedelai juga rata-rata bahan bakunya pakai kedelai impor,” ujar Havid, saat ditemui pertengahan November lalu.
Havid menjelaskan, sebagian besar petani di Sragen lebih memilih untuk menanam padi dan palawija seperti kacang hijau atau ketela. Selain masa tanam yang lebih pasti, harga padi di pasaran juga sedang tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan lebih cepat. “Sekarang padi harga standarnya Rp6.500 per kilogram, kalau kering bisa sampai Rp8.000 per kilogram. Jadi kalau disuruh tanam kedelai, ya pasti pikir-pikir dulu,” katanya.
Kedelai Lokal Tidak Tahan Lama
Tak hanya soal hasil panen, efisiensi waktu tanam dan kepastian adanya pembeli jelas menjadi pertimbangan. Dengan kondisi harga sewa lahan yang semakin mahal, petani akan lebih memilih komoditas yang membuat mereka lebih cepat balik modal.
Kedelai lokal tidak tahan lama untuk tahu dan tempe Suwolo, perajin tahu asal Kampung Teguhan, Kelurahan Sragen Wetan, Kecamatan Sragen, Jawa Tengah, mengungkapkan, ia dan rekan-rekan seprofesinya saat ini lebih banyak menggunakan kedelai impor untuk produksi tahu rumahan mereka.
“Sekarang ini yang terbanyak menggunakan kedelai impor, kedelai lokal itu cuma sekadar lewat. Kedelai lokal paling cuma dapat dua kresek (sekitar 1 kuintal), sebentar saja sudah habis,” kata Suwolo saat ditemui di rumah produksinya.
Menurut Suwolo, kedelai impor jauh lebih mudah diperoleh dan memiliki banyak pilihan. Sementara kedelai lokal stoknya sangat terbatas dan hanya tersedia musiman saat waktu panen. Dari segi rasa, Suwolo mengakui kedelai lokal sebenarnya lebih enak, namun produk yang dihasilkan tidak awet dan cepat basi. “Kalau kedelai lokal, dua hari saja tahunya sudah mulai berbau dan basi. Tapi kalau impor, bisa tahan sampai tiga hari,” jelasnya.
Selain masalah daya tahan, kedelai impor juga unggul karena lebih kering dan bisa disimpan lama tanpa berjamur. Sementara kedelai lokal hanya mampu bertahan seminggu, sebelum akhirnya rusak. “Kedelai impor itu bisa disimpan berbulan-bulan. Kalau kedelai lokal, seminggu sudah berjamur karena kualitasnya kurang kering,” ujar Suwolo.
Mengenai harga, Suwolo menyebut kedelai impor rata-rata berkisar Rp9.000 per kilogram, sedangkan kedelai lokal harganya memang lebih murah sekitar Rp8.300–Rp8.500. Menanggapi wacana pemerintah untuk mencapai swasembada kedelai, Suwolo menyambut baik gagasan tersebut, asalkan dibarengi dengan stabilitas harga dan jaminan kualitas.
“Saya setuju kalau kedelai lokal bisa diproduksi sendiri. Tapi jangan cuma murah, karena yang lebih penting standarnya jelas, kualitasnya bagus dan harganya stabil,” tutupnya.
Petani di Pesisir Barat Tak Lagi Budidayakan Kedelai
Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri masih menghadapi tantangan besar. Salah satunya, semakin sedikit petani yang berminat menanam kedelai.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, Muchtar Husin. Menurut Muchtar, salah satu penyebab utama petani enggan menanam kedelai adalah masalah pemasaran hasil panen. “Tanaman kedelai ini banyak diserap oleh perajin tahu dan tempe, tetapi pelaku usaha lebih tertarik menggunakan kedelai impor,” kata Muchtar.
Menurutnya, kendala tersebut bukan disebabkan oleh kualitas lahan. Tanah di wilayah Pesisir Barat cukup subur dan cocok untuk kedelai, terbukti dari keberhasilan budidaya sebelumnya. Namun faktor cuaca saat panen sering menjadi hambatan, terutama saat musim hujan yang dapat mengganggu proses pengeringan kedelai.
Dari sisi ekonomi, kedelai juga kalah bersaing dengan komoditas lain seperti padi dan jagung. Ia memaparkan, pemerintah telah menetapkan harga intervensi untuk harga jual gabah kering dan jagung melalui Badan Urusan Logistik (Bulog), sehingga ada jaminan pemasaran setelah panen.
Sementara untuk tanaman kedelai, ungkap Muchtar, belum memiliki sistem penyerapan yang kuat maupun insentif harga. Akibatnya, petani lebih memilih untuk menanam padi atau jagung yang memberikan keuntungan lebih besar dan pasar yang lebih pasti.
Sebagai perbandingan, jika menanam kedelai petani mendapatkan hasil panen maksimal 1,5 ton per hektare , dengan harga jual sekitar Rp 8.500 per kilogram. Sementara untuk tanaman jagung, petani bisa mendapatkan hasil panen hingga 6 ton per hektare, dengan harga jual sekitar Rp 5.500 per kilogram sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menunjukkan, pada tahun 2024–2025 tidak ada petani di Pesisir Barat, Lampung, yang membudidayakan kedelai. Program budidaya kedelai yang terakhir dilakukan pemerintah tercatat pada 2023 di Pekon Seray, Kecamatan Pesisir Tengah dan Pekon Sukabanjar, Kecamatan Ngambur, dengan total luas tanam 55 hektare.
“Itu pun dilakukan secara tumpang sari dengan jagung. Sekarang kalau pun ada petani menanam kedelai hanya di lahan pekarangan untuk konsumsi sendiri, bukan untuk produksi,” ujar Muchtar.
Dari sisi teknis pertanian, Muchtar menilai budidaya kedelai sebenarnya tidak sulit. Namun tantangan utamanya adalah pada pemasaran dan nilai jual hasil panen yang belum menjanjikan. Ia berharap ke depannya kedelai tetap ditanam secara swadaya, minimal untuk memenuhi kebutuhan lokal dan meningkatkan nilai tambah lahan melalui sistem tumpang sari. (*)
KANALBERITA.COM - Pemimpin Hamas di Jalur Gaza, Khalil al-Hayya, menyatakan bahwa kelompoknya bersedia menyerahkan senjata…
KANALBERITA.COM - Lemak seringkali disalahpahami sebagai musuh utama dalam pola makan sehat, terutama bagi yang…
KANALBERITA.COM - Meta dilaporkan menunda peluncuran kacamata Mixed-Reality, yang saat ini dikenal dengan nama kode…
KANALBERITA.COM - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan hingga Sabtu (6/12) sore, 914 orang dinyatakan…
KANALBERITA.COM - Pemerintah secara resmi telah menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) untuk tahun…
KANALBERITA.COM - Raksasa teknologi Google secara resmi telah mempublikasikan laporan tahunan "Year in Search" pada…
This website uses cookies.