KANALBERITA.COM – Ratusan siswa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, dan Kabupaten Agam, Sumatra Barat, baru-baru ini kembali menjadi korban keracunan massal dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), memicu pertanyaan tentang efektivitas instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menggunakan rapid test pada makanan.
Peristiwa keracunan ini bukan yang pertama, bahkan beberapa daerah telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus serupa. Insiden terbaru di Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) pada Jumat (3/10) menimpa setidaknya 331 orang, termasuk siswa dari berbagai jenjang, balita, dan ibu menyusui. Dua hari sebelumnya, 119 siswa di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, juga mengalami nasib serupa setelah mengonsumsi paket MBG.
Mardi Tahun, orang tua siswa dari SD GMIT SoE II di NTT, mengungkapkan kekhawatirannya setelah kedua anaknya mengalami mual, sakit perut, dan muntah. Anaknya menceritakan bahwa paket soto ayam yang mereka santap berbau tidak sedap. “Lebih baik anak tidak makan di sekolah, daripada makan bergizi, tapi anak [sakit] begini. Kami tidak terima,” ujarnya, menunjukkan trauma mendalam.
Kondisi ini menimbulkan desakan dari berbagai pihak. Zulkaidir, orang tua siswa di Agam, berharap pemerintah serius mengevaluasi program ini. “Niat pemerintah sudah baik dengan memberikan MBG, tapi sistemnya harus dibuat ideal,” katanya, menyarankan konsep “satu sekolah satu dapur” untuk menjaga kualitas.
Rapid Test untuk Uji Makanan
Menanggapi insiden berulang, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan agar setiap dapur umum MBG, atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), dilengkapi alat rapid test untuk menguji makanan sebelum didistribusikan. Namun, para analis kebijakan kesehatan menyoroti keterbatasan pendekatan ini.
Pengamat Kebijakan Kesehatan dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai bahwa rapid test memang merupakan “langkah baik untuk verifikasi cepat,” namun berisiko menciptakan “false sense of security” jika tidak didukung oleh sistem kendali menyeluruh dari hulu ke hilir. Menurutnya, rapid test “hanya memotret sebagian kecil bahaya” dan bukan pengganti perbaikan sistem yang meliputi desain proses, bahan baku, suhu, kehigienisan, dan waktu distribusi.
Senada dengan itu, Guru Besar Gizi Masyarakat dari IPB, Ali Khomsan, menambahkan bahwa program MBG seringkali “terburu-buru mengejar target SPPG dalam jumlah banyak,” mengabaikan tahapan sanitasi dan kehigienisan. Ia menyarankan pemerintah untuk memperketat perizinan SPPG dan memperkuat pelatihan keamanan pangan bagi para juru masak.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengakui bahwa mayoritas kasus keracunan terjadi karena dapur umum tidak memenuhi Prosedur Operasional Standar (SOP), seperti membeli bahan baku terlalu dini atau memasak terlalu lama sebelum distribusi. Pemerintah berencana menerbitkan peraturan presiden (perpres) untuk memperkuat koordinasi lintas lembaga demi mencegah terulangnya insiden.
Meski data jumlah korban keracunan antara BPOM dan BGN masih belum sinkron, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk menyampaikan data harian yang terintegrasi. Hal ini diharapkan dapat menjadi langkah awal perbaikan tata kelola, di tengah pro dan kontra mengenai keberlanjutan dan efektivitas program vital ini. (Sumber : BBC)














