KANALBERITA.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini menyerukan pentingnya segera merumuskan regulasi komprehensif untuk mengatur penggunaan kecerdasan buatan (AI) di tengah minimnya payung hukum dalam lanskap digital. Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Masduki Baidlowi, menegaskan langkah ini krusial untuk mencegah dampak negatif, terutama dalam ranah keagamaan.
Menurut Masduki, ruang digital saat ini masih tergolong ‘hutan belantara’ yang beroperasi tanpa kerangka hukum yang memadai. Oleh karena itu, MUI berkomitmen untuk menyusun pedoman etika penggunaan AI khusus untuk urusan keagamaan. Tujuan dari pedoman ini adalah memberikan arah yang jelas dalam aplikasi teknologi AI di sektor spiritual.
“Jadi secara etik ya, MUI akan memberikan panduan lebih jauh sebagai rekomendasi pengaturan AI,” kata Masduki kepada wartawan usai Konferensi Pers Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI MUI di Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Ia menambahkan bahwa penyusunan panduan teknis tersebut akan menjadi tindak lanjut dari pembahasan komisi Munas XI MUI, memastikan implementasi yang praktis dan relevan.
Masduki juga menekankan peran mendesak pemerintah dalam menyusun regulasi baru ini. Ia mendesak revisi undang-undang yang mengatur informasi, mengingat perkembangan pesat media sosial dan AI yang saat ini berjalan tanpa aturan jelas. “Segera saya minta itu ditulis besar-besar, supaya segera revisi terhadap undang-undang mengenai pengaturan informasi,” tegasnya.
Cegah Risiko Disinformasi Agama
Lebih lanjut, Masduki menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta aturan penyiaran yang ada belum cukup untuk menjangkau sistem informasi modern, terutama AI. Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa sistem informasi digital, khususnya yang berhubungan dengan AI, belum memiliki pengaturan yang komprehensif, bahkan beberapa area belum terjamah oleh regulasi.
Senada dengan pandangan tersebut, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, Muhammad Cholil Nafis, menyoroti risiko signifikan dalam pembelajaran agama dari sumber digital yang belum terverifikasi. Ia mengamati bahwa generasi muda (Gen-Z) cenderung lebih suka belajar melalui platform digital.
“Seringkali kita sekarang ini menemui tantangan dengan Gen-Z yang lebih senang belajar kepada digital,” ujar Cholil.
Ia memperingatkan potensi munculnya pola pikir ‘post-truth’, di mana individu cenderung hanya mempercayai pemikirannya sendiri tanpa dasar yang kuat, terutama dalam memahami ajaran agama.
Cholil Nafis menegaskan bahwa AI seharusnya dipandang sebagai alat bantu dalam memahami pengetahuan agama, bukan sebagai guru. “Akal imitasi ini pada proses alat memudahkan kita mengerti dan belajar, tapi bukan dijadikan guru,” pungkasnya, menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memanfaatkan teknologi canggih ini.














