JAKARTA, Kanal Berita – – Sebuah video tayangan ajang Dangdut Academy 7 di stasiun televisi nasional Indosiar menjadi viral di media sosial dan menuai kontroversi. Acara tersebut dinilai telah melakukan tindakan yang melecehkan kalimat tauhid di tengah-tengah pertunjukan musik yang penuh tarian dan busana wanita yang tidak pantas.
Dalam salah satu segmen acara, terdengar lantunan kalimah tauhid sementara para penampil justru berjoget, menggoyangkan tubuh, dan mengenakan pakaian yang dinilai jauh dari etika kesopanan dan jauh dari syariat Islam. Konten ini kemudian menyebar luas di berbagai platform media sosial dan memicu kemarahan umat Islam.
Bentuk Pelecehan terhadap Islam
Merespons kontroversi tersebut, Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M. Da’i, Lc, MA menyatakan dengan tegas bahwa tayangan itu merupakan upaya pelecehan terhadap Islam. Menurutnya, acara tersebut sudah termasuk penghinaan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan tampilan dan nyanyian yang diiringi dengan joget dan tarian yang dilakukan dengan sangat tidak beradab.
“Harus segera ada langkah-langkah hukum, jangan sampai menunggu umat Islam marah. Bagi umat Islam, pelecehan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan pertaruhan keimanan, sebab standar keimanan yang paling mendasar, seorang mu’min dalam hidupnya harus dapat membuktikan, bahwa cintanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya mengalahkan cinta dia kepada dunia dan segala isinya. Dimana setiap mumin harus siap mengorbankan apapun yang dia cintai di dunia ini termasuk nyawanya, jika hanya dengan pengorbanan seperti itu saja dia bisa membuktikan dan mempertanggung-jawabkan keimanannya dihadapan Allah SWT di akhirat nanti” terang KH Athian di Bandung, Rabu (26/11/2025).
Potensi Memancing Amarah Umat
Namun, Ketua FUUI mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum di mana setiap pelanggar hukum harus diproses secara hukum.
“Jadi kita berharap, karena ini termasuk masalah yang sangat sensitif, diharapkan pihak aparat segera mengambil langkah-langkah konkret tanpa harus menunggu reaksi dan pengaduan dari masyarakat,” tegasnya dengan penuh harapan.

Tuntutan Permintaan Maaf
Menurut KH Athian, pihak stasiun televisi yang menyiarkan konten tersebut harus mempertanggung-jawabkan tayangan tersebut.Menyatakan dan menjelaskan mengapa acara semacam itu bisa tayang. Jika ingin meminta maaf, maka permintaan maaf tersebut harus disampaikan kepada seluruh umat Islam.
“Penanggung jawab acara dan para pelaku dalam acara tersebut harus meminta maaf. Umat Islam tentu siap memaafkan tetapi proses secara hukum tentu harus tetap berjalan,” tegasnya.
Pernyataan Ketua FUUI ini menegaskan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup. Harus ada proses hukum yang berjalan untuk memberikan efek jera dan memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.
Mengingatkan Gaya PKI
KH Athian menilai, dengan adanya tayangan seperti ini, kiranya cukup beralasan jika ada sementara orang meyakini bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di negeri ini.
” Upaya memecah-belah umat Islam, menciptakan kegaduhan dan keonaran di masyarakat dengan diantaranya mekakukan pelecehan terhadap agama lewat pagelaran dan lirik- lirik musik dan lagu, pernah juga dilakukan PKI sebelum mereka melakukan pemberontakan di tahun 1948 dan 1965. Adalah sangat mustahil pelecehan seperti ini dilakukan dengan sadar oleh umat Islam. Sejelek-jeleknya umat Islam, tidak mungkin melakukan hal semacam ini, kecuali ada pihak lain yang mengendalikannya. Bahkan umat Islam yang paling awam sekalipun dipastikan akan mendidih darahnya menyaksikan tayangan pelecehan seperti ini ,” jelas KH Athian dengan nada prihatin.
Kritik terhadap Penegakan Hukum
KH Athian mengkritik bahwa kasus-kasus penghinaan terhadap agama banyak yang tidak diproses secara hukum dengan tuntas. Kecuali jika sudah viral dan umat bereaksi keras, barulah terkadang diproses secara hukum. Itupun dengan hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan.
“Penghinaan terhadap kesucian dan kemuliaan agama di KUHP pasal 156A, pelanggarnya hanya diancam hukuman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Padahal kalau menghina seseorang menurut UU ITE ada ancaman hingga 12 tahun,” terang KH Athian menyoroti ketimpangan dalam hukum.
Usulan Revisi Hukum Penista Agama
Ketua FUUI ini mengusulkan agar aturan dan hukum dalam KUHP terkait penodaan terhadap agama direvisi.
“Harusnya dibuat dan ditetapkan dalam KUHP aturan dan hukuman yang seberat-beratnya bagi setiap orang yang mekakukan pelecehan dan penghinaan terhadao kesucian dan kemuliaan agama. Jangankan menghina Allah SWT, bahkan Islam menetapkan hukuman mati bagi setiap orang yang menghina Rasulullah SAW ,” ungkap KH Athian.
Ajakan Boikot Stasiun TV
KH Athian juga memberikan pernyataan tegas terkait konsekuensi jika tidak ada langkah konkret dari pihak stasiun televisi tersebut. Menurutnya, jika stasiun televisi tidak mengambil tindakan serius, maka umat Islam haram hukumnya menonton acara-acara yang ditayangkan di stasiun televisi tersebut.
Ketua FUUI ini menegaskan bahwa sangatlaih tidak layak bahkan berdosa bagi umat Islam ikut membesarkan sebuah media televisi sementara acara-acaranya justru melecehkan kesucian dan kemuliaan agama yang mereka anut. Oleh karena itu, boikot menjadi salah satu cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan terhadap konten yang melecehkan Islam.
Kesabaran dalam Kerangka Hukum
Meskipun terkesan sangat emosional dengan kasus penghinaan terhadap agama, KH Athian tetap menekankan pentingnya menyelesaikan masalah ini dalam kerangka hukum.
“Ketika Allah SWT dan Rasulullah SAW dihina, rasanya mendidih darah ini. Namun sebagai warga negara yang baik, hendaknya umat Islam menahan diri untuk tidak melakukan tindakan diluar hukum. Ini negara hukum, setiap masalah hendaknya diselesaikan secara hukum yang berlaku di negeri ini,” pungkas ulama yang juga dikenal sebagai tokoh yang konsisten membela Islam selama ini.
Pernyataan KH Athian Ali ini mencerminkan kemarahan umat Islam terhadap tayangan yang dianggap melecehkan kalimat tauhid, sekaligus menunjukkan kesadaran untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum yang berlaku di negara Indonesia. Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk merevisi aturan hukum terkait penodaan agama agar memberikan efek jera yang lebih kuat bagi pelaku. [ ]













