Nasional

FUUI Ingatkan Batasan Toleransi dalam Rencana Natal Bersama Kemenag

×

FUUI Ingatkan Batasan Toleransi dalam Rencana Natal Bersama Kemenag

Sebarkan artikel ini
Menag
Menag Nasaruddin Umar ( foto: dok.kemenag)

BANDUNG, Kanal Berita – – Rencana Kementerian Agama Republik Indonesia mengadakan perayaan Natal bersama pada 2025 mendapat respons dari kalangan ulama. Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) melalui ketuanya, KH Athian Ali M.Dai, menyampaikan pandangan terkait batas-batas toleransi yang perlu dijaga dalam kegiatan keagamaan lintas iman.

 

Menteri Agama Nasaruddin Umar sebelumnya mengumumkan bahwa Kemenag akan menyelenggarakan perayaan Natal bersama untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan Indonesia. Pengumuman ini disampaikan pada Sabtu malam, (6 /12/ 2025), di Jakarta.

“Kementerian Agama, Bapak Ibu sekalian, besok ini, insyaallah kita pun juga akan melaksanakan Natal bersama. Pertama semenjak Republik Indonesia merdeka, di Kementerian Agama Republik Indonesia ini, ada Kementerian Agama merayakan Natal bersama,” ungkap Nasaruddin dalam pernyataannya yang dikutip dari detik.com.

Menag menjelaskan filosofi di balik penyelenggaraan acara tersebut, yakni untuk menekankan pentingnya kebersamaan antaranak bangsa tanpa sekat. Menurutnya, keragaman yang ada di Indonesia merupakan anugerah indah yang harus dijaga harmonisasinya.

KH Athian Ali
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali ( foto: dok.pribadi)

Prinsip Toleransi Menurut Islam

Merespons rencana tersebut, Ketua FUUI KH Athian Ali menegaskan bahwa umat Islam memiliki tradisi kuat dalam menghormati praktik keagamaan penganut agama lain. Sikap penghormatan ini, katanya, merupakan bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri.

“Namun sikap menghormati dan toleransi tersebut jangan sampai berlebihan. Apalagi bertolak belakang dengan prinsip keyakinan mendasar bagi seorang muslim. Terkait ada rencana untuk menggelar Natal bersama, fatwa MUI sudah tegas menetapkan haramnya hukum mengucapkan selamat Natal,”terang KH Athian.

Ulama senior ini memberikan klarifikasi mengenai makna “bersama” dalam konteks perayaan keagamaan. Menurut pandangannya, jika acara Natal Bersama tetap dilaksanakan, maka konsep kebersamaan yang dimaksud seharusnya terbatas pada sesama penganut agama Kristen saja.

“Bersama” yang dimaksud adalah bersama sesama pemeluk agama saja , tidak mengundang dan melibatkan penganut agama lain,” jelas KH Athian mengenai batasan yang sebaiknya diterapkan.

 

Peringatan Keras Soal Keterlibatan dalam Ritual

KH Athian memberikan peringatan tegas terkait kemungkinan keterlibatan umat Islam dalam ritual perayaan Natal. Ia menilai bahwa partisipasi dalam upacara ritual keagamaan lain bukan sekadar haram hukumnya, melainkan sudah masuk wilayah akidah yang sangat serius.

“Apalagi kalau sampai ada kaum Muslimin yang mengikuti upacara ritual dari perayaan Natal. Itu sudah semakin jauh dari sikap toleransi. Saya yakin kalau sudah terlibat dalam upacara ritual , maka secara akidah bukan haram lagi hukumnya tapi sudah sesat. Ini sebuah toleransi yang kebablasan,” tegasnya dengan nada serius.

Ketua FUUI itu menjelaskan bahwa toleransi yang kebablasan adalah bentuk toleransi yang dalam praktiknya mengorbankan prinsip-prinsip fundamental keimanan.

 

Konsep Toleransi dalam Islam

Mengelaborasi lebih jauh tentang konsep toleransi dalam Islam, KH Athian mengutip ayat Al-Quran yang mengajarkan sikap saling menghargai.

” Islam itu agama yang sangat luar biasa menegakkan prinsip toleransi. Toleransi dalam akidah dan ibadah yang diajarkan Islam ialah dengan kita menghormati dan menghargai keyakinan orang lain. Dengan kata lain, jika orang lain mempunyai keyakinan yang berbeda dengan keyakinan kita, itu merupakan haknya yang harus kita hormati. Sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan prinsip lakum dinukum waliyadin (QS.Al Kafirun),” tegas KH Athian.

Ia menekankan bahwa toleransi bukan berarti umat agama tertentu harus ikut terlibat ke dalam keyakinan dan mengikuti ritual penganut agama lain.

” Jangan sampai toleransi pada akhirnya mengorbankan keyakinan masing-masing pemeluk agama, yang pada gilirannya membuat masing-masing orang yang beragama sudah tidak beragama lagi.
Konsekuensi dari seseorang meyakini sebuah kebenaran, maka dengan sendirinya dia akan meyakini semua yang bertolak-belakang dengan yang dia yakini benar itu pasti salah . Karena mustahil ada kebenaran lebih dari satu padahal satu sama lain saling bertentangan. Saya khawatir rencana Menag menyelenggarakan acara perayaan Natal bersama, akan berdampak terhadap hilangnya keyakinan orang yang beragama di negeri ini.
Dengan kata lain, membuat orang-orang yang beragama menjadi tidak beragama karena tidak memiliki lagi keyakinan terhadap kebenaran mutlak Illahi yang seharusnya diimani, ” tegas KH Athian Ali

 

Indonesia sebagai Contoh Toleransi Beragama

KH Athian menyoroti bahwa dalam prinsip Islam, selama tidak berkaitan dengan masalah akidah dan ibadah, toleransi sangat dianjurkan. Umat Islam diajarkan untuk mengasihi sesama hamba Allah SWT apapun keyakinan dan agamanya. Praktik toleransi di Indonesia, menurutnya, sudah sangat baik selama ini.

“Selama ini toleransi antara umat beragama sudah berjalan sangat baik. Saya kira tidak ada di dunia ini sebuah negara yang begitu luar biasa toleransinya terhadap kelompok minoritas kecuali Indonesia. Tolong tunjukkan saja negara mana yang mayoritas penduduknya begitu luar biasa menghormati hak minoritas untuk menjalankan keyakinannya,” terang KH Athian.

Ia bahkan menyebut bahwa toleransi umat Islam Indonesia telah mendapat pengakuan dari Paus. Ketika beberapa tokoh Islam Indonesia berkunjung ke Vatikan, Paus menyatakan kekagumannya terhadap negara Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim yang dinilainya sangat luar biasa dalam menjaga toleransi terhadap kaum minoritas.
Pernyataan dalam bentuk kekaguman tersebut kembali diulangnya ketika yang bersangkutan belum lama ini berkunjung ke Indonesia,” ungkapnya.

 

Perbandingan dengan Negara Lain

Sebagai pembanding, KH Athian menunjuk kondisi umat Islam minoritas di berbagai negara lain. Di Thailand, khususnya Patani, di Filipina bagian Moro, wilayah Uyghur di Tiongkok, serta India, umat Islam mengalami perlakuan yang tidak manusiawi mulai dari intimidasi, pengusiran, hingga pembunuhan.

” Bahkan di Amerika dan di Eropa yang selalu mengagung-agungkan demokrasi, berulang-ulang terjadi kitab suci Al Qur’an diinjak- injak bahkan dibakar. Menghina yang mulia Rasulullah SAW dengan membuat kartun bernada pelecehan dan penghinaan tanpa ada tindakan apalagi diproses secara hukum, hanya dengan alasan kebebasan berekspresi. Sementara di Indonesia, mana pernah ada orang muslim yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini menghina kitab suci agama lain dengan menginjak-injak dan atau membakarnya. Begitu bebasnya umat minoritas menjalankan agamanya, membangun rumah ibadah yang tidak sedikit diantaranya bahkan dibangun dengan melanggar SKB dua Menteri , ” ungkap KH Athian.

 

Definisi Toleransi yang Seimbang

Mengakhiri pandangannya, KH Athian mendefinisikan toleransi beragama sebagai sikap saling menghargai hak setiap individu untuk memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Setiap penganut agama berhak menjalankan keyakinannya tanpa harus memaksakan penganut agama lain untuk ikut serta dalam kegiatan ritual yang diyakini mereka tapi tidak diyakini penganut agama lain,” imbuhnya.

FUUI melalui KH Athian berharap Menteri Agama dan Kementerian Agama dapat mengkaji ulang rencana tersebut. Jangan sampai toleransi justru mengorbankan keyakinan yang berakibat pada pendangkalan keyakinan orang yang beragama, khususnya akidah umat Islam.

“Biarlah toleransi mengalir dalam bentuk sikap setiap individu menghargai dan memberikan hak kepada masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan menjalankan apa yang menjadi keyakinan masing-masing tanpa harus mengkondisikan umat dari agama lain untuk terlibat dalam kegiatan ritual yang tidak diyakininya ” pungkasnya. [ ]

Example 300x600