BANDUNG, Kanal Berita – – Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Aos, kembali menjadi pusat perhatian publik. Tokoh spiritual tarekat Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat ini menuai gelombang kritik luas dari berbagai kalangan akibat sejumlah pernyataan dan ajaran yang dinilai kontroversial serta berpotensi menyesatkan umat Islam.
Dalam beberapa video yang beredar di media sosial, Abah Aos menyampaikan pernyataan-pernyataan yang menuai kontroversi. Dalam salah satu video, ia menyebut Anies Baswedan sebagai sosok Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu, serta melabeli pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pandangannya sebagai “Dajjal”. Video lain menunjukkan ia menyebut Rocky Gerung sebagai Rasulullah yang membawa kebenaran. Tidak hanya itu, dalam beberapa ceramahnya yang lain, Abah Aos juga menyatakan bahwa ibadah umroh tidak harus dilaksanakan ke Mekkah, melainkan bisa dilakukan di tempat lain.
Tanggapan Keras dari FUUI
Menyikapi pernyataan-pernyataan kontroversial tersebut, Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M.Dai, menyampaikan penilaian tegas bahwa ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Abah Aos tidak memiliki landasan dalil baik dalam Al-Quran maupun Hadits. Oleh karena itu, ajaran tersebut dapat dikategorikan sebagai ajaran sesat yang berpotensi menyesatkan umat Islam.
KH Athian menjelaskan bahwa risalah Islam terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW sudah bersifat final. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan telah sempurnanya agama Islam yang diturunkan Allah SWT lewat para Rasul sejak nabi Adam AS sampai dengan nabi terakhir Muhammad SAW. Ayat tersebut menegaskan bahwa ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW sudah sempurna untuk membimbing manusia ke jalan yang benar hingga hari kiamat.
“Artinya risalah Islam itu sudah berakhir dan Muhammad SAW adalah Rasul terakhir, tidak ada lagi Nabi atau Rasul setelahnya. Maka apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SWT itu sudah sempurna,” jelas KH Athian dengan tegas.
Dua Pedoman yang Diwarisksn Rasulullah Agar Manusia Tidak Tersesat
Ulama senior ini mengingatkan tentang wasiat Rasulullah SAW yang disampaikan pada saat Haji Wada atau haji perpisahan. Dalam kesempatan terakhir tersebut, Rasulullah mewariskan kepada umat Islam dua pedoman utama yang apabila umat berpegang teguh pada keduanya, yaitu Al-Quran dan Sunnah (Hadits), maka mereka tidak akan pernah tersesat sepanjang masa.
” Dengan kata lain, selama kita yang mengaku muslim berpegang pada Al Quran dan As Sunnah, tidak mungkin sesat dan tidak mungkin berbeda antara satu muslim dengan muslim lainnya. Jadi kalau kemudian ada pernyataan-pernyataan yang jelas-jelas berbeda dalam prinsip dasar akidah dan syariat, maka yang membuat pernyataan seperti abah aos itu sesat dan menyesatkan, karena disatu sisi yang bersangkutan mengaku muslim, sementara pernyataannya bertolak-belakang bahkan bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah,” tegas KH Athian.
Sebagai contoh, pernyataan yang menyatakan jika tidak memakai kopiah berwarna merah putih maka sholatnya tidak sah, menunjukkan ketidakpahaman terhadap Islam, sekedar mencari sensasi, atau sengaja ingin menyebarkan ajaran sesat dengan berpra-pura muslim.
Insya Allah saya yakin, umat Islam tidak akan mudah terperdaya oleh keberadaan orang-orang munafik semacam ini,” terang KH Athian.
250 Aliran Sesat di Jawa Barat
Mengejutkan, menurut data yang dimiliki oleh FUUI, walaupun banyak yang sudah tidak eksis lagi, setidaknya pernah tercatat ada sekitar 250 aliran sesat dan menyesatkan yang berkembang di wilayah Jawa Barat. Aliran-aliran ini memiliki ciri-ciri yang beragam dan menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Ciri-ciri aliran sesat tersebut bermacam-macam, antara lain ada yang mengaku sebagai nabi padahal kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad SAW, ada yang mengaku sebagai malaikat..Ada yang mengklaim memiliki Al-Quran versi baru, hingga ada yang menafsirkan Al-Quran sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan pribadi mereka sendiri tanpa mengikuti kaidah tafsir yang benar.
“Bagi yang sudah paham Islam maka akan dengan mudah bisa mengetahui ajaran tersebut sesat atau tidak. Hanya yang kita khawatirkan umat Islam yang awam, yang tidak paham dan tidak sepenuhnya ajaran Islam, sehingga mengira suatu ajaran tertentu benar, padahal sangat sesat dan menyesatkan,” tegas KH Athian mengungkapkan kekhawatirannya.
Tanggung Jawab Ulama dan Dai
Untuk mengatasi penyebaran ajaran-ajaran sesat ini, KH Athian menegaskan bahwa hal tersebut menjadi tanggung jawab para dai dan ulama untuk mengingatkan dan menyadarkan pihak penganut ajaran sesat, sekaligus mengingatkan umat agar jangan sampai terjebak, apalagi mengikuti ajaran sesat.
“MUI dan ormas-ormas Islam harus senantiasa waspada dan sigap untuk segera mengeluarkan pernyataan atau menetapkan fatwa serta berkoordonasi dengan pihak pemerintah dan aparat, agar penganut aliran sesat bisa disadarkan dan umat segera diselamatkan. Apabila penganut sebuah ajaran sesat itu telah dengan sengaja melanggar hukum karena melakukan penistaan dan penodaan terhadap kesucian dan kemurnian agama, maka harus dimintai pertanggungjawabannya secara hukum,” terang KH Athian.
Merebaknya paham dan ajaran sesat di tengah-tengah umat Islam, menurut pengamatan KH Athian, juga terjadi akibat sikap diamnya sebagian besar ulama yang seharusnya berperan aktif dalam membentengi akidah umat dan membendung penyebaran ajaran-ajaran sesat.
Peran MUI dan Ormas Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah berkumpulnya para ulama memiliki peran strategis dalam hal ini. Di tubuh MUI terdapat representasi dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam yang seharusnya dapat bersinergi dalam menghadapi persoalan ajaran sesat ini.
“Jangan didiamkan dan dibiarkan terus berkembang. Penganut ajaran sesat terutama tokohnya harus diingatkan dan disadarkan agar kembali ke ajaran Islam yang benar. Bila yang bersangkutan tetap pada pendiriannya itu haknya, namun tidak dibenarkan menyebarkan ajaran sesatnya. Jika ajaran sesat disebarkan dan jelas telah menodai kesucian agama, maka harus segera dilaporkan kepada pihak aparat untuk diproses secara hukum,” tegas KH Athian.
Kriteria Ulama yang Sesungguhnya
KH Athian juga menyoroti fenomena di masyarakat, dimana umat terkadang dibingungkan saat mencari dan menemukan sosok ulama yang benar-benar lurus sesuai dengan yang digambarkan dalam Al-Quran dan Hadits. Saat ini, umat cenderung menilai ulama hanya dari penampilan luar dan gaya bahasa yang digunakan.
“Seringkali umat melihat dari sisi penampilan dan retorika penyampaian saja. Terlebih lagi dalam beberapa tahun belakangan ini ada upaya dari kelompok tertentu yang membesar-besarkan urusan penampilan. Menuduh semua pihak yang tidak berpenampilan seperti mereka tidak mengikuti sunnah Rasullullah SAW.
Padahal sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW, bahwasanya beliau diutus Allah SWT hanyalah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak dan kepribadian. Di hadist lainnya beliau lebih mempertegas kembali hal ini dengan menyatakan, bahwasanya Allah SWT tidak akan melihat bentuk rupa dan penampilan seseorang, tapi ysng akan dilihat dan dimintai pertanggungjawaban dari masing-masing adalah apa yang ada dalam hati dan amal perbuatan seseorang ” terang KH Athian mengkritisi pandangan yang keliru ini.
Merujuk pada Al-Quran Surat Fatir ayat 28, KH Athian menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak berilmu jelas bukan ulama, tetapi orang-orang yang berilmu sekaliipun secara bahasa bermakna ulama, namun belum tentu bermakna ulama sebagaimana yang dimaksudkan Islam . Menurut definisi Al-Quran, ulama adalah orang yang berilmu yang dengan ilmunya benar-benar melaksanakan prinsip dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari tercermin dari kepribadiannya yang mulia.
Ulama Hanya Takut kepada Allah
Ciri khas ulama yang sejati, menurut KH Athian, adalah mereka yang hanya takut kepada Allah. Dalam pengertian siap menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jika seseorang hanya sekadar mengetahui ilmu pengetahuan tentang Islam tanpa mengamalkannya, maka ia belum bisa disebut ulama.
“Kalau hanya sekedar mengetahui ilmu pengetahuan, para orientalis itu sangat mungkin lebih tahu tentang Islam dibanding umumnya umat Islam, karena mereka dengan maksud dan tujuan tertentu ada yang sampai puluhan tahun meneliti dan menyelami semua yang terkait dengan agama Islam. Maka para orientalis ini tentu saja tidak bisa dikatagorikan sebagai ulama, karena jangankan berkepribadian muslim bahkan mereka tidak pernah menyatakan masuk Islam. Kecuali beberapa diantaranya yang akhirnya masuk Islam seperti Thomas Arnold, Lord Headly, Ethan Deneeh, Muhammad Sholeh Suzuki, Abdul Munim Inada, Fazlur Rahman dan lainnya,” terang KH Athian memberikan penjelasan mendalam.
Seruan untuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Mengakhiri pandangannya, FUUI melalui KH Athian Ali mengingatkan kembali peran utama ulama yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Para ulama harus aktif membina umat agar terhindar dari ajaran-ajaran sesat dan menyesatkan, serta membentengi akidah umat dari upaya-upaya pendangkalan pemahaman agama.
Kasus Abah Aos ini menjadi pelajaran tentang pentingnya literasi agama yang benar di kalangan umat Islam. Masyarakat Muslim perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam yang shahih berdasarkan Al-Quran dan Hadits, serta lebih selektif dalam memilih sumber pembelajaran agama.
Peran aktif MUI, ormas-ormas Islam, dan para ulama yang kredibel sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan kepada umat dalam menangkal penyebaran ajaran-ajaran yang menyimpang. Dengan demikian, kemurnian ajaran Islam dapat terjaga dan umat dapat terhindar dari kesesatan yang berpotensi merusak akidah mereka.
Masyarakat juga diimbau untuk selalu kritis dan merujuk kepada sumber-sumber yang terpercaya dalam mempelajari agama, tidak mudah terpesona oleh penampilan luar atau gaya retorika semata, melainkan menilai dari substansi ajaran dan kesesuaiannya dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.[ ]














