BANDUUNG, Kanal Berita – – Sebuah kasus intoleransi dan dugaan penodaan agama kembali mencuat ke permukaan. Kali ini insiden terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Enemawira yang terletak di Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Dalam kasus ini, Chandra Sudarto (CS) yang menjabat sebagai Kepala Lapas Enemawira diduga telah memaksa seorang tahanan beragama Islam untuk mengonsumsi daging anjing.
Berdasarkan hasil pemeriksaan awal yang dilakukan oleh pihak berwenang, insiden pemaksaan tersebut terjadi dalam sebuah acara pesta. Chandra Sudarto dalam pembelaannya mengakui bahwa kejadian tersebut berlangsung saat mereka sedang mengadakan perayaan ulang tahun. Atas perbuatannya tersebut, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan Chandra Sudarto dari jabatannya sebagai Kepala Lapas.
Kecaman Keras dari FUUI
Menyikapi kasus yang melibatkan pejabat negara ini, Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali M.Dai menyampaikan kecaman keras sekaligus keprihatinan mendalam. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin bisa dibenarkan, seorang pejabat negara yang memiliki tanggung jawab besar dalam sistem pemasyarakatan bisa melakukan tindakan intoleransi terhadap seorang Muslim.
“Pertanyaan kita, apakah Kepala Lapas ini orang beragama atau tidak?. Karena kalau dia orang yang beragama, mestinya dia memahami betul hak-hak orang yang beragama. Dia harus menghormati hak orang lain yang mempunyai keyakinan dalam agamanya untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama. Jadi, kemungkinan pertama yang bersangkutan orang yang tidak beragama,” ungkap KH Athian dengan nada tegas.
Ulama senior ini melanjutkan argumentasinya dengan menyinggung landasan filosofis negara Indonesia. Jika memang tidak beragama, sambung KH Athian, seharusnya orang tersebut tidak bisa hidup di Indonesia. Pernyataan ini berdasar pada fakta bahwa Indonesia berdiri di atas fondasi Pancasila, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengharuskan setiap warga negara Indonesia untuk beragama dan berketuhanan.
Potret Toleransi yang Timpang
KH Athian menyoroti ironi yang terjadi dalam praktik toleransi beragama di Indonesia. Menurutnya, toleransi umat Islam di Indonesia sebagai kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas sudah sangat luar biasa. Namun yang ironis, justru sikap intoleransi banyak dilakukan oleh orang-orang di luar Islam. Contohnya termasuk insiden penghinaan terhadap Al-Quran, peludahan terhadap kitab suci, penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan kini termasuk kasus pemaksaan yang dilakukan oleh Kepala Lapas tersebut.
“Saya kira belum pernah ada di Indonesia ini Kepala Lapas nya seorang Muslim kemudian memaksa napi agama lain untuk melakukan sesuatu yang tidak diyakininya atau bertentangan dengan keyakinannya. Itu tidak akan terjadi,” terang KH Athian memberikan perbandingan yang kontras, sekaligus menunjukkan tingginya penghormatan umat Islam terhadap kebebasan beragama dan keyakinan orang lain.
Pelanggaran HAM dan Undang-Undang
Ketua FUUI ini mengidentifikasi bahwa perbuatan Kepala Lapas Enemawira bukan hanya soal intoleransi semata, melainkan telah memasuki ranah pelanggaran hukum yang serius. Pertama, tindakan tersebut jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak asasi dalam menjalankan dan memiliki keyakinan dalam beragama yang dijamin oleh konstitusi.
Kedua, yang bersangkutan juga telah melanggar ketentuan undang-undang yang melarang perbuatan melecehkan agama atau menghina agama orang lain. Tindakan memaksa seseorang mengonsumsi makanan yang diharamkan dalam agamanya merupakan bentuk pelecehan yang serius terhadap ajaran dan keyakinan agama tersebut.
“Ini kan jelas sebuah pelecehan bagi kaum Muslimin yang harusnya bisa dijerat dengan KUHP pasal 156A tentang sikap pelecehan terhadap agama lain,” terang KH Athian menunjuk pada pasal spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 05:36
Pasal 156A KUHP mengatur tentang tindak pidana penodaan agama, yang mencakup perbuatan-perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Ancaman hukuman dalam pasal ini cukup berat, yaitu pidana penjara paling lama lima tahun.
Tuntutan Penegakan Hukum yang Tegas
KH Athian Ali menegaskan harapannya agar aparat penegak hukum melakukan pengusutan secara menyeluruh dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, kasus-kasus semacam ini tidak boleh diselesaikan hanya dengan permintaan maaf, pemberhentian sementara dari jabatan, pencopotan dari posisi, atau sekadar teguran administratif.
“Kalau tidak dihukum berat, dikhawatirkan peristiwa serupa akan terulang lagi. Jadi harus ada satu bentuk proses hukum yang membuat setiap orang berpikir seribu kali untuk berani melakukan perbuatan yang sama atau segala bentuk pelecehan dan penodaan terhadap kemuliaan dan kesucian agama yang diyakini seseorang,” pungkas KH Athian dengan penekanan kuat.
Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya efek jera (deterrence effect) dalam penegakan hukum. Hukuman yang tegas dan sesuai dengan bobot pelanggaran diharapkan dapat memberikan pesan kuat kepada masyarakat, khususnya para pejabat publik, bahwa tindakan intoleransi dan pelecehan terhadap agama merupakan pelanggaran serius yang akan ditindak secara hukum.
Konteks Kasus dalam Sistem Pemasyarakatan
Kasus ini menjadi sorotan khusus mengingat tempat terjadinya adalah lembaga pemasyarakatan, yang seharusnya menjadi tempat pembinaan dan perlindungan hak-hak narapidana, termasuk hak untuk menjalankan keyakinan agamanya. Lapas sebagai institusi di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM memiliki kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak asasi setiap warga binaan tanpa diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan secara eksplisit mengatur bahwa narapidana berhak mendapatkan pelayanan rohani dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pemaksaan untuk melakukan atau mengonsumsi sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan agama jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang humanis.
Dampak Psikologis terhadap Korban
Selain aspek hukum dan HAM, kasus ini juga perlu dilihat dari dampak psikologis terhadap korban. Seorang tahanan yang sudah dalam kondisi rentan karena kehilangan kebebasannya, kemudian dipaksa melakukan sesuatu yang sangat bertentangan dengan keyakinan agamanya, akan mengalami trauma psikologis yang mendalam.
Dalam ajaran Islam, mengonsumsi daging anjing adalah haram. Pemaksaan untuk melakukan hal tersebut sangat melukai perasaan keagamaan dan merusak integritas spiritual seseorang.
Urgensi Penegakan Hukum
Langkah pemberhentian dari jabatan yang telah diambil oleh Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan merupakan respons administratif yang tepat. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh KH Athian Ali, tindakan administratif saja tidak cukup. Diperlukan proses hukum pidana yang komprehensif untuk memberikan keadilan kepada korban dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, perlu melakukan penyelidikan menyeluruh untuk mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat menguatkan dugaan pelanggaran hukum. Jika terbukti bersalah, pelaku harus diadili dan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk kemungkinan dijerat dengan Pasal 156A KUHP tentang penodaan agama.
Pesan untuk Pejabat Publik
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pejabat publik, khususnya yang bekerja di institusi pemasyarakatan, untuk selalu menghormati hak asasi dan keyakinan agama setiap orang. Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki bukan untuk menekan atau memaksa orang lain, melainkan untuk melindungi dan melayani masyarakat dengan adil dan beradab.
Toleransi beragama bukan hanya slogan atau retorika, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama oleh mereka yang memiliki otoritas dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsi-fungsi negara. Kegagalan dalam menghormati keberagaman dan keyakinan agama orang lain adalah pengkhianatan terhadap amanat jabatan dan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
Masyarakat Indonesia menanti keadilan dalam kasus ini sebagai bukti bahwa negara serius dalam melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya tanpa paksaan atau intimidasi dari pihak manapun.[ ]









