BANDUNG, Kanal Berita – – Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Selasa (23/9/2025) menuai kritik tajam dari kalangan ulama Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Prabowo menyampaikan sikap Indonesia yang mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina serta kesediaannya mengakui negara Israel jika solusi dua negara (twostate solution) disepakati.
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M.Dai, memberikan respons keras terhadap substansi pidato presiden tersebut. Menurutnya, konsep solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang tertuang dalam konstitusi Indonesia.
“Padahal sangat jelas dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak atas segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Sementara solusi dua negara melegalkan imprialisme, bahkan memberikan kedaulatan bagi Israel sebagai penjajah untuk menguasai secara legal tanah jajahannya,” tegas KH Athian dengan nada keras.
Kritik yang disampaikan tidak hanya menyangkut aspek konstitusional, tetapi juga mempertanyakan legitimasi representasi presiden dalam forum internasional. KH Athian mempertanyakan apakah sikap yang disampaikan Prabowo benar-benar mencerminkan aspirasi mayoritas rakyat Indonesia.
Menurutnya, mayoritas masyarakat Indonesia justru menginginkan kemerdekaan penuh bagi Palestina tanpa syarat apapun, dan menuntut Israel sebagai penjajah untuk keluar sepenuhnya dari wilayah Palestina tanpa kompromi.

“Kalau logika solusi dua negara diterapkan bagi penjajah maka Indonesia saat 1945 harusnya solusinya dibagi menjadi tiga negara yakni Belanda, Jepang dan Indonesia sendiri,” terang KH Athian dengan menggunakan analogi sejarah kemerdekaan Indonesia.
Perbandingan historis ini dimaksudkan untuk menunjukkan absurditas dari konsep solusi dua negara ketika diterapkan pada kasus penjajahan. Jika logika tersebut dibenarkan, maka Indonesia yang dijajah oleh Belanda dan Jepang seharusnya berbagi wilayah dengan kedua negara penjajah tersebut setelah kemerdekaan.
KH Athian juga mengkhawatirkan bahwa konsep solusi dua negara dapat menjadi preseden buruk bagi negara-negara lemah di masa depan. Menurutnya, jika prinsip ini diterima dalam hukum internasional, maka negara-negara besar dan kuat akan dengan mudah menjajah negara lemah, kemudian setelah sekian tahun membagi wilayah tersebut menjadi dua negara.
Dalam skenario tersebut, sang penjajah akan mendapatkan wilayah dan pengakuan legal internasional meskipun wilayah tersebut diperoleh melalui perampasan dan penjajahan. Sementara negara yang dijajah harus rela kehilangan sebagian wilayahnya karena terpaksa berbagi dengan negara penjajah.
Pertanyaan krusial lainnya yang diajukan KH Athian adalah tentang batas wilayah dalam konsep solusi dua negara. “Yang menjadi masalah juga solusi dua negara ini mau ditetapkan berdasarkan batasan wilayah yang mana dan dari kapan? Apakah awal mula Israel merebut wilayah Palestina atau kondisi sekarang dimana Israel sudah menguasai lebih dari 80 persen wilayah Palestina?” tanyanya dengan mengungkap kompleksitas implementasi solusi tersebut.
Pertanyaan ini menunjuk pada persoalan fundamental: jika solusi dua negara diimplementasikan berdasarkan kondisi saat ini, maka Israel akan mendapatkan legitimasi atas lebih dari 80 persen wilayah Palestina yang telah direbutnya melalui ekspansi bertahap selama puluhan tahun.
Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, FUUI menyatakan penolakan tegas terhadap konsep solusi dua negara sebagai jalan keluar dari penjajahan Israel atas Palestina. Menurut KH Athian, solusi ini hanya akan melegalkan penjajah untuk merebut dan menguasai wilayah jajahannya secara permanen.
Kritik FUUI tidak berhenti pada konsep solusi dua negara, tetapi juga menyasar rencana 21 poin yang diajukan Presiden Donald Trump untuk Gaza. KH Athian menilai usulan Trump sangat merugikan kepentingan Palestina dan pada dasarnya hanya melegitimasi dominasi Israel.
Salah satu poin yang dikritik adalah janji bahwa jika Israel dan Hamas menyetujui usulan tersebut, perang akan segera berakhir dengan IDF menghentikan semua operasi dan menarik diri dari Jalur Gaza secara bertahap.
“Sejak kapan dan apa jaminannya Israel akan menaati perjanjian dan kesepakatan? Resolusi-resolusi PBB saja tidak ada satupun yang ditaati dan dijalankan. Begitu pula dengan perjanjian OSLO di tahun 1993 yang juga mereka khianati. Jangankan perjanjian dengan manusia, perjanjian dengan Allah SWT bahkan dibawah ancaman gunung Thur diatas kepala mereka akhirnya mereka khianati juga . Kisah ini bisa kita baca dalam surat Al Baqarah ayat 63 dan 93,” terang KH Athian dengan merujuk pada sumber teologis.
Argumentasi ini menekankan track record Israel dalam melanggar berbagai kesepakatan internasional dan resolusi PBB yang telah dikeluarkan selama puluhan tahun. Skeptisisme terhadap komitmen Israel ini bukan tanpa dasar, mengingat sejarah panjang pelanggaran yang telah dilakukan.
Menurut analisis KH Athian, kombinasi antara solusi dua negara dan 21 poin usulan Trump akan menghasilkan kemerdekaan Palestina yang hanya bersifat nominal. Palestina akan menjadi negara boneka yang meski memiliki presiden sendiri, namun tidak memiliki kedaulatan sejati.
“Meski kelak Palestina dianggap merdeka tetapi tidak boleh memiliki pasukan bersenjata, Hamas dilucuti dan ekonomi sepenuhnya diatur mereka. Lalu jika demikian apalah arti merdeka?” tanya KH Athian dengan retorika yang tajam.
Kekhawatiran lain yang disampaikan adalah bahwa implementasi solusi dua negara dan 21 poin Trump akan membebaskan Benjamin Netanyahu dari tuntutan sebagai penjahat perang. Padahal, ratusan negara telah mengakui kemerdekaan Palestina dan menuntut Netanyahu diadili atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya.
Sebagai penutup, KH Athian menegaskan posisi FUUI dengan jelas dan tegas. “Solusinya tetap satu, Palestina Merdeka tanpa syarat, Israel keluar tanpa syarat dan adili Netanyahu sebagai penjahat perang,” pungkasnya.
Kritik FUUI terhadap pidato Prabowo di PBB ini mencerminkan ketegangan antara diplomasi pragmatis yang dilakukan pemerintah dengan aspirasi ideologis sebagian besar masyarakat Indonesia. Perbedaan pandangan ini menunjukkan kompleksitas dalam merumuskan kebijakan luar negeri yang harus menyeimbangkan berbagai kepentingan dan nilai-nilai yang dianut bangsa.
Sebagaimana telah diketahui Presiden Amerika Serikat, Donald Trump “menyodorkan” sejumlah poin untuk Palestina dan Israel. Berikut ini isi 21 poin rencana Trump untuk Gaza dan Palestina:
- Gaza akan jadi zona deradikalisasi, bebas teror yang tidak menimbulkan ancaman bagi negara-negara tetangganya.
- Gaza akan dibangun kembali untuk kepentingan rakyatnya.
- Jika Israel dan Hamas menyetujui usulan tersebut, perang akan segera berakhir, dengan IDF menghentikan semua operasi dan menarik diri dari Jalur Gaza secara bertahap.
- Dalam waktu 48 jam setelah Israel secara terbuka menerima kesepakatan tersebut, semua sandera yang hidup dan yang meninggal akan dikembalikan.
- Setelah pemulangan sandera, Israel akan membebaskan ratusan tahanan keamanan Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup dan lebih dari 1.000 warga Gaza yang ditangkap sejak awal perang serta ratusan jenazah warga Palestina.
- Setelah pemulangan sandera, anggota Hamas yang berkomitmen hidup berdampingan secara damai akan diberi amnesti, sementara anggota yang ingin meninggalkan Jalur Gaza akan diberikan perjalanan aman ke negara penerima.
- Setelah kesepakatan tercapai, bantuan akan mengalir deras ke Jalur Gaza. Patokan jumlah sesuai kesepakatan pada Januari 2025.
- Distribusi bantuan dilakukan oleh PBB dan Bulan Sabit Merah bersama organisasi internasional lain yang tidak terkait dengan Israel maupun Hamas.
- Gaza akan dikelola oleh pemerintahan sementara dan transisi terdiri dari para teknokrat Palestina yang akan bertanggung jawab menyediakan layanan sehari-hari bagi rakyat di Jalur Gaza. Komite akan diawasi badan internasional baru yang dibentuk AS melalui konsultasi dengan mitra-mitra Arab dan Eropa.
- Rencana ekonomi akan disusun untuk membangun kembali Gaza. Ini akan melibatkan para ahli yang berpengalaman dalam pembangunan kota-kota modern di Timur Tengah dan lewat pertimbangan yang bertujuan menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja.
- Zona ekonomi akan dibentuk, dengan tarif dan tingkat akses yang dikurangi akan dinegosiasikan oleh negara-negara peserta.
- Tidak seorang pun akan dipaksa meninggalkan Gaza, tetapi mereka yang memilih pergi akan diizinkan kembali. Warga Gaza didorong tetap tinggal dan diberi kesempatan membangun masa depan lebih baik.
- Hamas tidak akan memiliki peran apa pun dalam pemerintahan Gaza. Akan ada komitmen penghancuran infrastruktur militernya, termasuk terowongan. Para pemimpin baru Gaza akan berkomitmen hidup berdampingan secara damai dengan negara tetangganya.
- Jaminan keamanan akan diberikan mitra regional guna memastikan Hamas dan faksi Gaza lainnya mematuhi kewajiban mereka dan Gaza berhenti menjadi ancaman Israel atau rakyatnya sendiri.
- AS akan bekerja sama dengan mitra Arab dan internasional lainnya untuk membentuk pasukan stabilisasi internasional sementara. Pasukan ini akan dikerahkan di Gaza untuk mengawasi keamanan di jalur tersebut.
- Israel tidak akan menduduki atau mencaplok Gaza dan IDF akan secara bertahap menyerahkan wilayah yang saat ini didudukinya karena pasukan keamanan pengganti membangun kendali dan stabilitas di Jalur Gaza.
- Jika Hamas menunda atau menolak usulan itu, poin-poin di atas akan dilanjutkan di wilayah bebas teror, yang secara bertahap akan diserahkan IDF kepada pasukan stabilitas internasional.
- Israel setuju untuk tidak melakukan serangan di Qatar pada masa yang akan datang. AS dan komunitas internasional mengakui peran penting Doha sebagai mediator dalam konflik Gaza.
- Akan dibentuk sebuah proses deradikalisasi penduduk. Ini mencakup dialog antaragama yang bertujuan mengubah pola pikir dan narasi Israel dan Gaza.
- Ketika pembangunan kembali Gaza telah maju dan program reformasi PA telah dilaksanakan, kondisi mungkin akan tersedia untuk jalur yang kredibel menuju negara Palestina, yang diakui sebagai aspirasi rakyat Palestina.
- AS akan membangun dialog antara Israel dan Palestina untuk menyepakati cakrawala politik bagi koeksistensi damai.
Pertemuan Trump dan para pemimpin negara Muslim digelar di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Banga (PBB) di New York, Selasa (23/9/2025) waktu setempat. Para pemimpin dan pejabat tinggi negara Muslim yang hadir berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Mesir, Yordania, Turki, Indonesia, dan Pakistan. [ ]








