HeadlineInternasionalKolom

Kisah Yasser Arafat: Gema Seorang Pejuang, Bisikan Seorang Manusia

22
×

Kisah Yasser Arafat: Gema Seorang Pejuang, Bisikan Seorang Manusia

Sebarkan artikel ini
Potret jarak dekat Yasser Arafat mengenakan keffiyeh ikoniknya, menatap ke kejauhan dengan ekspresi berpikir yang mendalam, menyoroti kisah hidupnya sebagai seorang pemimpin.
Yasser Arafat dalam sebuah momen perenungan. Tatapannya yang tajam, dibingkai oleh keffiyeh yang menjadi simbol perjuangan Palestina, seolah menceritakan perjalanan panjang seorang pejuang sekaligus manusia yang penuh kompleksitas.

Pada akhirnya, semesta Yasser Arafat menyusut menjadi sebuah bisik di antara reruntuhan. Dari balik jendela kantornya yang menganga seperti luka di kompleks Muqata’a, Ramallah, cakrawala satu-satunya adalah laras tank Israel yang berjaga dalam keheningan yang mengancam. Pria yang suaranya pernah menggema di aula Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang tangannya pernah menjabat tangan musuh di Halaman Gedung Putih di bawah tatapan dunia, kini adalah seorang pertapa paksa.

Dinding-dinding yang remuk di sekelilingnya bukan sekadar puing; ia adalah naskah terakhir dari sebuah epik kehidupan—sebuah ode perjuangan yang ditenun dari benang harapan yang berkilauan, kekerasan yang memekakkan, kompromi yang merobek jiwa, dan keputusasaan yang paling sunyi.

Bagi jutaan jiwa di Palestina, ia adalah Abu Ammar, bapak pelindung, napas dari revolusi itu sendiri, simbol abadi dari sebuah bangsa yang menolak untuk lenyap. Bagi mata dunia Barat dan Israel, ia adalah hantu yang menakutkan, seorang maestro teror yang simfoninya adalah pertumpahan darah.

Bagi para diplomat berjas rapi, ia adalah kabut, seorang negosiator yang tak terduga, bunglon politik yang mengganti kulitnya demi bertahan di padang pasir pengkhianatan. Namun, jika kita menelanjangi semua label itu—pahlawan, teroris, negarawan—siapakah yang tersisa? Yang tersisa adalah seorang manusia: Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini. Kisahnya bukanlah sekadar catatan kaki dalam buku sejarah. Ia adalah sajak tentang kehilangan, elegi tentang identitas, dan sebuah pencarian abadi akan satu kata sederhana yang paling kuat: “rumah”.

Guna memahami gema hidupnya, kita harus kembali ke dentuman pertama, ke luka asal yang menempa takdirnya.

Api dari Abu Malapetaka

Setiap awal adalah sebuah mitos, dan mitos Arafat dimulai dalam ambiguitas. Ia mengklaim Yerusalem sebagai rahimnya, lahir pada 4 Agustus 1929, sebuah klaim puitis yang menambatkan jiwanya pada jantung suci perjuangan. Namun, kertas dan tinta—akta kelahirannya—berbisik tentang Kairo, Mesir. Ketidakpastian ini, pada hakikatnya, adalah potret Palestina itu sendiri: sebuah bangsa yang tercerai-berai, sebuah konsep yang mulai memudar dari peta dunia.

Lalu datanglah tahun 1948. Sebuah tahun yang menjadi dosa asal, sebuah retakan di fondasi dunia Arab. Perang itu, yang mereka sebut an-Nakba, Malapetaka, mengubah segalanya. Ratusan ribu manusia menjadi riak dalam gelombang pengungsian, rumah-rumah mereka menjadi kenangan saat negara Israel lahir dalam api dan darah.

Bagi Arafat muda, Nakba bukan sekadar berita utama; ia adalah belati yang menancap di jantung keluarganya. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana rakyatnya, dalam sekejap mata, menjadi hantu tanpa tanah. Rasa malu, pengkhianatan oleh saudara-saudara Arabnya, dan amarah karena dicabut dari akarnya menjadi arang yang membara, yang kelak akan menyalakan api revolusi.

Di koridor Universitas Kairo, di antara buku-buku teknik sipil, api itu mulai menjilat. Arafat bukanlah sekadar mahasiswa; ia adalah denyut nadi pergerakan. Ia memimpin Persatuan Umum Mahasiswa Palestina (GUPS), mengubah podium kampus menjadi mimbar perlawanan.

Di sanalah ia belajar menari dengan kata-kata, mengasah karisma, dan merumuskan sebuah kredo yang lahir dari kekecewaan: Jangan pernah lagi menggantungkan nasib Palestina pada janji orang lain. Pembebasan harus datang dari darah dan keringat Palestina sendiri.

Setelah lulus, Kuwait memberinya pekerjaan, namun hatinya tertinggal di Palestina. Di bawah langit malam gurun, bersama para pengasing lainnya—Khalil al–Wazir dan Salah Khalaf, saudara seperjuangannya—ia merancang cetak biru sebuah takdir baru. Pada tahun 1959, lahirlah Fatah. Namanya adalah sebuah janji, sebuah akronim terbalik yang berarti “penaklukan”.

Fatah adalah sebuah anomali. Ia menolak menjadi bidak dalam permainan catur ideologi Arab. Tujuannya murni, tunggal, tanpa kompromi: pembebasan Palestina melalui senapan. Arafat telah menyelesaikan transformasinya. Mahasiswa yang marah itu telah mati, dan dari abunya, bangkitlah sang arsitek revolusi.

Suara Gerilya Guncang Dunia

Perang Enam Hari pada 1967 adalah badai yang meluluhlantakkan keangkuhan Arab, tetapi di balik kehancuran itu, ada celah bagi Fatah untuk tumbuh. Saat mitos kekuatan militer Arab hancur berkeping-keping, Arafat dan para fedayeen-nya melangkah maju. Dari lembah-lembah Yordania, mereka melancarkan serangan-serangan yang menusuk, dan nama Abu Ammar menjadi doa di bibir para pengungsi.

Momen penahbisannya tiba pada Maret 1968, di sebuah kota kecil bernama Karameh. Tentara Israel datang dengan kekuatan penuh, mengharapkan kemenangan mudah. Namun, mereka menemukan sesuatu yang lain. Mereka menghadapi perlawanan. Para pejuang Fatah tidak lari. Mereka berdiri, bertempur seperti singa yang terluka, mengubah debu Karameh menjadi altar pengorbanan. Secara militer, hasilnya bisa diperdebatkan. Namun secara mitologis, itu adalah kemenangan yang menggetarkan. Palestina telah menunjukkan taringnya.

Kisah Karameh menjadi legenda. Ribuan pemuda meninggalkan keputusasaan kamp-kamp pengungsian guna menjawab panggilan jihad. Dan di pusat mitos baru ini berdirilah Yasser Arafat. Dengan keffiyeh-nya yang ikonik, yang dilipat dengan hati-hati hingga menyerupai peta tanah air yang hilang, ia bukan lagi sekadar seorang pemimpin; ia adalah Palestina itu sendiri.

Namun, di balik epik kepahlawanan ini, sebuah bayangan mulai tumbuh. Perjuangan bersenjata melahirkan anak-anaknya yang paling kelam, seperti faksi “September Hitam” yang bertanggung jawab atas pembantaian atlet Israel di Olimpiade Munich 1972. Arafat secara terbuka menjauhkan diri, tetapi dunia bertanya-tanya: dapatkah seorang bapak benar-benar tidak mengetahui perbuatan anak-anaknya? Di sinilah kontradiksi pertama Arafat mengeras: tangan yang melambai ke kerumunan yang memuja adalah tangan yang sama yang memimpin sebuah gerakan di mana kekerasan menjadi mata uang.

Dari Beirut, Arafat memainkan permainan gandanya dengan lebih mahir: senapan di satu tangan, diplomasi di tangan yang lain. Puncaknya adalah pada tahun 1974. Pria yang sama yang memimpin serangan gerilya kini diundang ke mimbar paling terhormat di dunia: Majelis Umum PBB. Dengan pistol terselip di pinggangnya, ia menyampaikan pidato yang akan terukir dalam sejarah. “Saya datang membawa ranting zaitun dan senapan pejuang kemerdekaan,” suaranya menggema. “Jangan biarkan ranting zaitun ini jatuh dari tangan saya.”

Itu adalah sebuah pertunjukan teater politik yang jenius. Ia telah memaksa dunia untuk melihatnya bukan sebagai bandit, tetapi sebagai perwujudan dari aspirasi sebuah bangsa.

Tarian Berbahaya dengan Harapan

Surga Lebanon terbukti fana. Kehadiran PLO menyeret negara itu ke dalam neraka perang saudara dan mengundang invasi Israel pada tahun 1982. Beirut terkepung. Arafat, sang penyintas ulung, sekali lagi harus menelan kekalahan. Saat ia menaiki kapal yang membawanya ke pengasingan di Tunis—jauh dari detak jantung perjuangannya—dunia menulis obituarinya. Arafat telah tamat.

Tetapi sejarah, seperti drama yang bagus, penuh dengan berbagai kejutan. Pada tahun 1987, tanah Palestina sendiri yang bangkit. Intifada Pertama adalah sebuah pemberontakan jiwa; anak-anak pelontar batu melawan raksasa bersenjata. Itu adalah pemberontakan yang lahir dari rahim rakyat, bukan dari markas PLO di Tunis—sebuah kebenaran yang memaksa Arafat untuk menemukan relevansi baru melalui jalur diplomasi. Dari jauh, ia menyaksikan api ini dan tahu bagaimana cara meniupnya, mengendarai gelombang pemberontakan tersebut untuk melakukan manuver paling berani dalam hidupnya.

Pada tahun 1988, di Aljir, ia memimpin PLO untuk melakukan hal yang tak terpikirkan: mendeklarasikan negara Palestina sambil secara implisit mengakui keberadaan Israel dan menolak terorisme. Itu adalah sebuah pertaruhan yang membelah gerakannya, sebuah kompromi menyakitkan yang membuka sebuah pintu yang selama ini tertutup rapat.

Pintu itu menuju ke sebuah rumah pedesaan di Norwegia, tempat negosiasi rahasia melahirkan sebuah keajaiban. Pada 13 September 1993, di bawah tatapan ragu dunia, keajaiban itu terwujud. Di Halaman Gedung Putih, Yasser Arafat, sang musuh bebuyutan, menjabat tangan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Itu adalah sebuah jabat tangan yang mengguncang dunia, sebuah momen singkat di mana perdamaian tampak mungkin, sebuah fajar yang menjanjikan.

Hadiah Nobel Perdamaian menyusul, dan sang pejuang kembali ke Gaza bukan lagi sebagai gerilyawan, tetapi sebagai presiden dari sebuah janji: Otoritas Palestina.

Akhir Tragedi

Memerintah sebuah janji terbukti seribu kali lebih sulit daripada memimpin sebuah revolusi. Otoritas Palestina terperangkap antara harapan rakyatnya yang meluap dan borgol Perjanjian Oslo. Di sinilah sisi gelap Arafat sebagai pemimpin menjadi paling nyata. Ia adalah pusat dari semesta Palestina, sebuah matahari yang cahayanya memberi kehidupan, tetapi panas teriknya juga menghanguskan tunas-tunas kepemimpinan lain yang mencoba tumbuh di bawahnya. Kekuasaan terpusat di tangannya. Loyalitas dihargai lebih dari kompetensi, menciptakan budaya patronase dan korupsi yang menggerogoti fondasi negara yang belum sempat berdiri. Di manakah batas antara dana revolusi dan pundi-pundi pribadi? Itu adalah pertanyaan yang berbisik di lorong-lorong Gaza yang miskin, bahkan ketika elite baru muncul di sekitar sang presiden.

Fajar yang cerah di tahun 1993 telah menjadi senja yang berdarah. Klimaks dari tragedi ini terjadi pada tahun 2000 di Camp David. Di bawah tekanan seorang Presiden Amerika Bill Clinton yang putus asa, Arafat dihadapkan pada sebuah tawaran “ambil atau tinggalkan”. Bagi Arafat, itu adalah sebuah surat penyerahan diri. Tegas dia menolaknya.

Para pendukungnya melihatnya sebagai pembela prinsip yang tak tergoyahkan. Namun para pengkritiknya melihat sesuatu yang lain: seorang revolusioner tua yang tidak tahu cara berhenti berjuang. Apakah ia menolak karena kesepakatan itu adalah sebuah pengkhianatan, atau karena perdamaian itu sendiri adalah sebuah pengasingan baginya—sebuah dunia tanpa musuh, tanpa perjuangan, di mana sang pejuang tua tidak lagi tahu tempatnya? Mungkin ia adalah Musa bagi rakyatnya, ditakdirkan untuk memimpin mereka ke ambang Tanah Perjanjian, tetapi tidak akan pernah bisa memasukinya sendiri.

Kegagalan itu melepaskan neraka. Intifada Kedua meletus, jauh lebih brutal, lebih mematikan. Arafat, yang dituding oleh Israel sebagai dalang, menjadi kambing hitam internasional. Pada tahun 2002, tank-tank Israel mendobrak gerbang Muqata’a, mengubah istana menjadi penjaranya.

Di sanalah ia menghabiskan babak terakhir, raja yang terbuang di atas puing takhta di tengah kerajaan yang hancur, dikelilingi puing-puing mimpinya sendiri. Kesehatannya runtuh dalam misteri, memicu bisik-bisik tentang racun, sebuah akhir yang kelam bagi denyut nadi revolusi. Pada November 2004, Arafat mengembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit di Paris, jauh dari tanah yang menjadi obsesi seumur hidupnya.

Paradoks Abadi

Yasser Arafat adalah sebuah gema yang tidak akan pernah pudar. Prestasinya monumental: ia mengambil sekelompok pengungsi yang terlupakan dan menempa mereka menjadi sebuah bangsa dengan satu suara, satu identitas, satu perjuangan yang diakui dunia. Ia memaksa dunia untuk mengucapkan kata “Palestina”. Ia adalah detak jantung dari harapan mereka.

Namun, kegagalannya sama besar, dan bayang-bayangnya pun sama kelam. Ia wafat tanpa pernah melihat negara yang ia janjikan. Ia memimpin sebuah gerakan pembebasan, namun memerintah dengan tangan seorang otokrat. Ia berbicara tentang perdamaian, namun tidak pernah sepenuhnya memadamkan api kekerasan dalam gerakannya. Ia adalah simbol pemersatu yang meninggalkan warisan perpecahan dan institusi yang rapuh.

Pada akhirnya, guna memahami Arafat, kita harus memahami paradoks. Ia adalah pejuang kemerdekaan yang menggunakan taktik teror. Ia adalah peraih Nobel Perdamaian yang meninggal di tengah perang. Ia adalah bapak sebuah bangsa yang juga menghambat kedewasaannya. Kisahnya adalah cermin yang retak. Dan di setiap kepingannya, kita tidak hanya melihat wajah seorang pria, tetapi juga wajah sebuah konflik yang belum usai, dan pertanyaan abadi tentang harga sebuah impian. Warisannya bukanlah jawaban, melainkan sebuah pertanyaan abadi yang terus menghantui tanah Palestina: apakah sang pembebas juga merupakan sipir penjaranya sendiri?

Daftar Sumber Referensi:

  1. Aburish, Said K. (1998). Arafat: From Defender to Dictator. Bloomsbury Publishing.Buku ini memberikan pandangan kritis dari orang dalam, menyoroti transisi Arafat dari seorang pemimpin revolusioner menjadi seorang kepala negara yang otokratis.
  2. Rubin, Barry, and Judith Colp Rubin (2003). Yasir Arafat: A Political Biography. Oxford University Press.Sebuah biografi politik yang komprehensif yang menganalisis keputusan-keputusan strategis Arafat dalam konteks politik Timur Tengah yang lebih luas.
  3. Hart, Alan (2009). Arafat: Terrorist or Peacemaker?. Sidgwick & Jackson.Menawarkan perspektif yang lebih simpatik, berdasarkan wawancara ekstensif dengan Arafat dan para pemimpin dunia lainnya, mengeksplorasi dualitas dalam citra publiknya.
  4. Wallach, Janet, and John Wallach (1990). Arafat: In the Eyes of the Beholder. Carol Publishing Group.Menyajikan potret Arafat melalui wawancara dengan orang-orang yang mengenalnya, baik teman maupun musuh, memberikan pandangan multifaset tentang karakternya.
  5. Sayigh, Yezid (1997). Armed Struggle and the Search for State: The Palestinian National Movement, 1949–1993. Oxford University Press.Sebuah karya akademis yang mendalam yang menempatkan Fatah dan PLO dalam konteks gerakan nasional Palestina secara keseluruhan, memberikan analisis rinci tentang strategi militer dan politik mereka.
  6. Dokumenter dan Arsip Berita dari BBC, The New York Times, dan Al Jazeera.Materi arsip ini menyediakan catatan kontemporer tentang peristiwa-peristiwa penting, pidato, dan wawancara sepanjang karier Arafat.
Example 300x600