KANALBERITA.COM – Fenomena badai geomagnetik, yang dipicu oleh aktivitas suar Matahari intens, baru-baru ini melanda secara global pada 12-14 November 2025, namun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan dampaknya di Indonesia relatif minimal berkat perisai alami Bumi yang tangguh.
Badai geomagnetik, sering juga disebut badai Matahari, merupakan gangguan sementara pada magnetosfer Bumi. Fenomena ini terjadi akibat interaksi dahsyat antara angin Matahari—aliran plasma bermuatan listrik dari Matahari—dengan medan magnet pelindung Bumi. Pemicu utamanya adalah lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection/CME) dari Matahari, yang merupakan ledakan besar memancarkan radiasi elektromagnetik dan partikel berenergi tinggi ke antariksa.
Kendati demikian, bagi manusia di Bumi, badai Matahari tidak menimbulkan ancaman langsung. NASA menegaskan bahwa medan magnet Bumi yang kuat, yang dihasilkan oleh perputaran besi cair di intinya, serta atmosfer tebal Bumi, bertindak sebagai perisai alami. Medan magnet ini membentuk sebuah “gelembung” pelindung raksasa yang disebut magnetosfer, membentang ribuan mil dari Bumi, efektif menghalau sebagian besar partikel bermuatan dari angin Matahari.
Meskipun demikian, magnetosfer tidak sepenuhnya melindungi Bumi. Dampak tidak langsung badai geomagnetik dapat meliputi gangguan pada sistem teknologi. Potensi kerugiannya mencakup pemadaman listrik di area tertentu, interferensi sinyal GPS dan satelit komunikasi, serta perubahan pola cuaca dinamis. Namun, bagi para astronaut yang berada di luar angkasa tanpa perlindungan atmosfer, ancaman badai Matahari jauh lebih signifikan.
Kekebalan Indonesia
Menanggapi badai magnetik global pada 12-14 November yang dipicu oleh suar Matahari kelas X5.1—salah satu kategori terkuat—BMKG memberikan kepastian bagi Indonesia. Ketua Tim Kerja Geofisika Potensial BMKG, Syirojudin, menjelaskan bahwa peristiwa tersebut, yang memicu lontaran plasma dan medan magnet berkecepatan tinggi atau CME yang mengarah ke Bumi, mencapai tingkat badai geomagnetik G4 atau kategori berat menurut pantauan NOAA Space Weather Prediction Center (SWPC).
Berkat posisi geografisnya yang strategis di sekitar garis khatulistiwa, Indonesia memiliki keunggulan alami. “Wilayah ekuator memiliki sabuk magnetosfer yang kuat, disebut Equatorial Electrojet, yang berfungsi sebagai perisai dari partikel berenergi tinggi,” tutur Syirojudin. Observatorium magnet bumi BMKG di Tondano, Tuntungan, dan Serang mengonfirmasi aktivitas geomagnetik ini berlangsung selama tiga hari, namun dampaknya di Indonesia tetap minimal.
Meski ancaman besar dapat dikesampingkan, BMKG mengimbau potensi gangguan minor hingga moderat pada sistem komunikasi satelit, navigasi berbasis GPS, dan komunikasi radio frekuensi tinggi (HF). Untuk mengantisipasi hal tersebut, BMKG menyarankan masyarakat untuk memantau indeks K dan A secara real time, serta bagi sektor transportasi udara dan laut untuk menyiapkan protokol komunikasi cadangan.
“Tidak ada alasan untuk panik. Perlindungan magnetosfer membuat ancaman terhadap kehidupan sehari-hari maupun jaringan listrik di Indonesia sangat kecil,” tandas Syirojudin.











