KANALBERITA.COM – Kematian mendadak seorang siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berusia 17 tahun di Kabupaten Bandung Barat pada akhir September lalu memicu perdebatan sengit, terutama terkait dugaan keterkaitannya dengan kasus keracunan massal dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang sebelumnya menyerang ratusan pelajar di sekolahnya.
BR, siswi SMKN 1 Cihampelas, meninggal dunia pada Selasa (30/09/2025), hampir sepekan setelah mengonsumsi paket MBG yang sama dengan 167 pelajar lain yang mengalami keracunan pada Rabu (24/09/2025). Meskipun BR diketahui ikut mengonsumsi MBG, bahkan sampai dua porsi dari temannya, namanya tidak tercatat sebagai korban keracunan massal tersebut.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) dan Dinas Kesehatan Bandung Barat secara tegas menyatakan bahwa kematian BR tidak berhubungan dengan MBG, mendasarkan pada laporan bahwa gejala yang dialami BR muncul lebih dari 2×24 jam setelah mengonsumsi makanan.
Narasi Keluarga dan Bantahan Otoritas
Wali kelas BR, Imron Komarudin, mengonfirmasi bahwa BR mengonsumsi MBG pada hari kejadian. “Kalau berdasarkan pengakuan dari teman-temannya beliau (BR) itu mengonsumsi (MBG),” ujarnya. Imron bahkan sempat bertemu BR pada hari keracunan dan memastikan kondisinya baik-baik saja.
Paman BR, Nanang Suryana, juga mengungkapkan bahwa BR sempat merasa kuat dan tidak mengalami gejala seperti teman-temannya. “Wa, orang lain mah pada keracunan, BR mah kuat sampai habis dua porsi,” kenang Nanang menirukan ucapan keponakannya.
Namun, pada Senin (29/09), BR mulai mengeluh sakit kepala dan pada Selasa dini hari (30/09), ia muntah-muntah. Kakak BR, Sindi, mengira adiknya hanya masuk angin biasa. Sayangnya, saat adiknya Surya pulang sekolah, BR ditemukan dalam kondisi kritis. Di perjalanan menuju RSUD Cililin, BR dinyatakan meninggal dunia sebelum tiba di rumah sakit (Dead on Arrival/DoA).
Kepala Pelayanan IGD RSUD Cililin, dr. Dwi Puspitasari Anggita, menjelaskan kondisi BR saat tiba, “Pasien datang kondisinya sudah pucat, kemudian kebiruan, gerakan napasnya sudah tidak ada, bagian-bagian badannya sudah dingin. Dilakukan pemeriksaan pada pupil memang sudah midriasis (pupil mata melebar) total.” Dokter tidak dapat memastikan penyebab kematian tanpa autopsi, sebuah tawaran yang ditolak oleh keluarga.
Perlunya Autopsi dan Jeda Gejala
Kontras dengan pernyataan resmi, pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengkritik keras kesimpulan tersebut. “Jangan menyatakan bukan karena [keracunan] MBG. Itu kan ketakutan semuanya, bilang bukan karena MBG. Tapi nyatakanlah situasinya masih belum jelas. Kemungkinan kematian yang disebabkan oleh keracunan [MBG] tidak bisa disingkirkan,” tegas Pandu. Ia menilai pernyataan “lebih dari 2×24 jam bukan MBG” adalah “terlalu gegabah” dan merupakan bentuk penyangkalan.
Senada, pakar kesehatan masyarakat Prof. Tjandra Yoga Aditama, mengutip Center for Disease Control and Prevention (CDC) AS, menjelaskan bahwa gejala keracunan makanan bisa muncul dalam hitungan jam hingga berminggu-minggu, tergantung jenis patogen. Misalnya, keracunan Salmonella bisa timbul 6 jam hingga 6 hari kemudian, sementara Listeria bisa sampai dua minggu.
Oleh karena itu, autopsi menjadi kunci untuk mengetahui penyebab pasti kematian BR. Sayangnya, keluarga BR menolak autopsi, dengan paman BR, Nanang Suryana, menyatakan telah membuat surat pernyataan penolakan.
BR dikenal sebagai sosok yang baik dan bertekad ingin bekerja di Jepang demi adik-adiknya. “Dia bilang ke saya, ‘Biarin kakak yang sengsara, tapi adik-adik sukses’,” kenang Nanang, menggambarkan BR sebagai “tulang punggung keluarga”. (Sumber : BBCIndonesia)














