GAZA, KANALBERITA.COM – Kabut tebal asap menutupi cakrawala Gaza City pada Rabu (17/9/2025) ketika barisan lapis baja Israel, yang disertai dengan hujaman meriam dan bombardir udara berkelanjutan, menerobos lebih jauh ke dalam kota tersebut dalam salah satu ofensif darat terbesar Israel sejak konflik pecah.
Penyerangan ini diawali dengan peringatan tegas. Di pagi hari, selebaran-selebaran Israel disebarkan, mengimbau penduduk sipil untuk bermigrasi ke wilayah selatan dan mendeklarasikan Gaza City sebagai “zona tempur yang kejam”.
Jalur evakuasi telah diumumkan, namun bagi ribuan penduduk yang diliputi ketakutan, pertanyaan utamanya adalah ke mana mereka harus berlari dan bagaimana mencapai tujuan dengan selamat.
“Kami pikir bagian barat Gaza City akan aman, tapi, pengeboman mengikuti kami ke mana-mana,” kata Mahmoud al-Zard, seorang pria berusia 45 tahun yang memiliki lima anak.
“Tidak ada lagi tempat yang aman.”
Keluarga al-Zard telah mengalami pengungsian sebelumnya ketika kediaman mereka di area Shuja’iyya musnah. Kini, terpaksa meninggalkan tenda tempat mereka bernaung, mereka kembali harus melarikan diri.
“Kami hanya membawa beberapa barang dan air. Kami terus-menerus hidup dalam ketakutan. Setiap tembakan meriam diiringi oleh kedatangan tank-tank yang kian mendekat. Rasanya seperti mati seribu kali sehari,” kata al-Zard.
Di sepanjang jalan, banyak warga bermigrasi dengan penuh keputusasaan. Al-Rimal, salah satu kawasan perdagangan yang biasanya paling ramai di wilayah kantong tersebut, berubah menjadi kota mati dengan bangunan-bangunan yang rusak parah dan reruntuhan bertebaran.
Keluarga-keluarga berkerumun di dalam mobil, truk, dan gerobak keledai, sebuah iring-iringan kacau yang diiringi suara sirine ambulans.
Usaha meloloskan diri menjadi taruhan hidup-mati. Pada Rabu, sumber-sumber medis melaporkan serangan drone Israel mengenai sebuah kendaraan yang mengangkut keluarga pengungsi di sekitar pintu masuk Rumah Sakit Al-Shifa, merenggut nyawa setidaknya 13 orang.
Kejadian ini terjadi setelah serangan serupa sehari sebelumnya yang merenggut lima nyawa ketika mobil mereka terbakar. Para tenaga medis melaporkan bahwa serangan yang berkelanjutan membuat hampir mustahil bagi mereka untuk mencapai lokasi yang terkena bom.
“Kami sering menemukan seluruh keluarga terkubur di bawah puing-puing. Setiap menit penundaan bisa memakan korban nyawa,” kata seorang petugas kedaruratan Mohammed Samih.
Otoritas kesehatan Gaza pada Rabu melaporkan bahwa sedikitnya 98 orang tewas akibat serangan Israel dalam 24 jam terakhir sehingga total korban tewas dalam konflik ini mencapai 65.062 orang sementara korban luka mencapai 165.697 orang.
Menteri pertahanan Israel Israel Katz pada Selasa (16/9) menyampaikan ultimatum yang mengerikan, “Jika Hamas tidak membebaskan sandera dan melucuti senjatanya, Gaza akan dihancurkan dan menjadi hamparan nisan”.
Menanggapi ultimatum tersebut, Hamas mengecam serangan itu sebagai “babak baru dalam perang genosida dan pembersihan etnis secara sistematis”.
Sementara itu, fasilitas kesehatan di Kota Gaza terbebani berat menghadapi tekanan. Di Rumah Sakit Al-Shifa, institusi medis terbesar di Gaza, para dokter kewalahan.
Puluhan korban luka berdatangan dalam hitungan jam, banyak di antaranya merupakan korban serangan artileri. Tenaga medis bekerja dengan pasokan listrik, bahan bakar, dan perlengkapan esensial yang semakin menipis.
Direktur jenderal otoritas kesehatan Gaza Munir al-Bursh memperingatkan bahwa sistem kesehatan seluruhnya berada di ambang kehancuran.
“Foto-foto dari Gaza menceritakan kisahnya. Mayat-mayat di bawah reruntuhan, anak-anak yang dihantui kelaparan dan ketakutan, rumah sakit yang runtuh menimpa staf dan pasiennya,” kata al-Bursh.
Dia menyebut situasi itu sebagai “ujian moral dan hukum bagi dunia”.
Pewarta : Xinhua
Sumber : Antara 














