KANALBERITA.COM- Bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor yang menelan ratusan korban jiwa di Sumatera baru-baru ini dipicu oleh cuaca ekstrem dengan curah hujan sangat lebat. Fenomena ini menggarisbawahi pertanyaan penting mengenai penyebab peningkatan frekuensi dan intensitas anomali cuaca di seluruh dunia.
Peristiwa tragis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi bukti nyata dari dampak anomali cuaca. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan curah hujan pada periode 25-27 November 2025 mencapai kategori ekstrem, seperti yang tercatat di Aceh Utara (310,8 mm/hari) dan Medan (262,2 mm/hari).
Krisis iklim yang menyebabkan pemanasan suhu bumi secara berkelanjutan disebut sebagai akar masalah dari fenomena ini. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menyatakan bahwa perubahan iklim global berdampak langsung pada kejadian cuaca di seluruh planet.
“Gelombang panas yang memecahkan rekor di daratan dan lautan, hujan lebat, banjir parah, kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan ekstrem, dan banjir luas selama badai tropis semakin sering terjadi dan semakin intens,” ungkap NASA melalui situs resminya.
Sebuah riset dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) pada 2023 mendukung temuan tersebut, menyatakan bahwa pemanasan global membuat hujan ekstrem lebih sering terjadi dengan volume yang lebih deras.
“Studi kami menegaskan bahwa intensitas dan frekuensi hujan lebat yang ekstrem meningkat secara eksponensial seiring dengan meningkatnya pemanasan global,” kata Max Kotz, penulis utama studi tersebut. Temuan ini selaras dengan teori fisika Clausius-Clapeyron yang menjelaskan bahwa udara hangat mampu menampung lebih banyak uap air.
Pemanasan Suhu Laut Perparah Kondisi
Secara spesifik untuk wilayah Indonesia, mantan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa suhu permukaan laut yang semakin hangat mempercepat siklus hidrologi. Penguapan yang lebih cepat memicu pembentukan awan hujan yang lebih masif. Selain itu, perbedaan suhu antara perairan Indonesia yang hangat dengan Samudera Pasifik dan Hindia yang lebih dingin menarik aliran massa udara basah.
“Jadi perbedaan suhu muka air laut antara Samudera Hindia dengan kepulauan Indonesia, maka terjadilah aliran massa udara basah dari Samudera Hindia ke Indonesia. Demikian juga, dari Samudera Pasifik ke Indonesia,” ujar Dwikorita.
Aliran massa udara basah dari kedua samudera ini semakin memperkuat pembentukan awan hujan di atas wilayah Indonesia. Kondisi tersebut dapat diperburuk oleh fenomena regional seperti Madden-Julian Oscillation, yaitu pergerakan gugusan awan hujan di sepanjang khatulistiwa.
Anders Levermann, salah satu peneliti dari PIK, menegaskan bahwa masyarakat perlu bersiap menghadapi dampak yang lebih buruk dari perkiraan model iklim sebelumnya. “Curah hujan ekstrem akan lebih deras dan lebih sering terjadi. Masyarakat harus bersiap untuk hal ini,” katanya.














