JAKARTA, Kanal Berita – – Angka korban bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Sumatera terus mengalami peningkatan. Data terkini per Rabu pagi, 10 Desember 2025, mencatat sebanyak 969 jiwa telah meninggal dunia akibat bencana yang menimpa tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data bahwa total korban yang mengalami luka-luka di ketiga provinsi tersebut mencapai 5.000 orang. Lebih memprihatinkan lagi, masih terdapat 262 jiwa yang dilaporkan hilang dan belum ditemukan keberadaannya.
Dampak bencana ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghancurkan berbagai infrastruktur dan permukiman penduduk. Berdasarkan data yang tercatat, sebanyak 157,9 ribu bangunan di 52 kabupaten mengalami kerusakan. Fasilitas umum yang hancur meliputi 1.200 unit, 215 fasilitas kesehatan, 584 fasilitas pendidikan, 423 rumah ibadah, 287 gedung perkantoran, dan 498 jembatan yang rusak atau putus.
Bencana Sebagai Akibat Ulah Manusia
Menyikapi tragedi kemanusiaan ini, Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali M.Dai menyatakan keprihatinan dan duka yang mendalam kepada seluruh korban beserta keluarga yang ditinggalkan. Dalam pandangannya, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa wilayah Sumatera, khususnya Aceh, Sumut, dan Sumbar, merupakan musibah yang dipicu oleh perbuatan tangan-tangan manusia yang serakah dalam merusak hutan dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Kalau dari sudut pandangan Islam bahwa sebelum manusia itu diciptakan, Allah sudah menciptakan seluruh alam semesta ini, termasuk bumi, dengan segala fasilitasnya. Setelah itu barulah Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. (QS.Al-Baqarah:30),” terang KH Athian menjelaskan konsep penciptaan manusia dalam Islam.
Ulama senior ini kemudian menguraikan makna khalifah yang berarti wakil atau perwakilan. Menurutnya, manusia diciptakan untuk menjadi wakil-wakil Allah dalam mengelola bumi dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk berperilaku sebagai khalifah yang menjaga ,merawat dan memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia.
“Namun dalam kenyataannya, mereka kemudian mengkhianati posisi sebagai khalifah, dengan melanggar aturan dan hukum Allah hanya karena mengikuti hawa nafsu yang telah mereka jadikan sebagai Tuhan mereka (QS.Al-Furqan ayat 43),” jelas KH Athian dengan tegas, Rabu (10/12/2025)
Sorotan terhadap Pejabat dan Penegak Hukum
KH Athian menyoroti kerusakan jutaan hektar hutan yang menurutnya mustahil terjadi tanpa sepengetahuan pejabat dan aparat penegak hukum di Indonesia. Ia menekankan bahwa kerusakan yang terjadi bukan dalam skala kecil, melainkan mencapai jutaan hektar dengan jutaan batang pohon yang ditebang.
“Jadi tidak mungkin aparat atau pejabat setempat tidak tahu. Masalahnya siapa mereka para pelaku itu?. Sangat mungkin mereka adalah orang-orang yang dilindungi oknum penguasa.. Kalau bukan orang yang dilindungi, maka bisa jadi oknum penguasa sendiri pelakunya,” duganya.
Ketua FUUI ini juga mengkritik kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga kontrol pemerintah yang dinilai sangat lemah dan tidak menjalankan fungsi dan kewajibannya. Terkesan seperti tidak mengetahui atau tahu tapi membiarkan kerusakan hutan terjadi begitu saja.
“Kalau misal ini legal, maka siapa yang memberi izin? Mengapa diberi izin? Pihak pemberi izin tentunya harus segera dipanggil oleh DPR untuk dimintai pertanggungjawabannya,” terang KH Athian mengenai mekanisme pengawasan yang seharusnya berjalan.
Tuntutan Hukuman Maksimal
Apabila kegiatan perusakan hutan tersebut terbukti melanggar hukum, KH Athian menuntut agar pelaku diproses secara hukum dengan hukuman yang seberat-beratnya. Ia bahkan menyatakan bahwa hukuman mati sekalipun belum sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan, mengingat dampaknya yang menyebabkan ribuan korban jiwa, ribuan rumah rusak, ribuan lahan hancur, serta ribuan orang kehilangan harta benda mereka.
“Tanpa bermaksud mengecilkan korban jiwa, kalau seorang yang dianggap teroris bisa divonis hukuman mati, maka bagaimana para perusak hutan dan alam tersebut yang menyebabkan korban jiwa ribuan orang, ribuan yang terluka dsn kehilangan harta benda dan segala kerusakan alam lainnya. Saya kira mungkin hukuman mati saja tidak setimpal dengan kejahatan mereka. Kejahatan membunuh ribuan orang tersebut layak dikategorikan sebagai teroris lingkungan sekaligus kemanusiaan,” jelas KH Athian dengan penekanan kuat.
Dampak Jangka Panjang: Kemiskinan dan Kehilangan Mata Pencaharian
Selain memakan korban jiwa dan merusak harta benda, KH Athian juga menggarisbawahi dampak berkelanjutan dari bencana ini, yaitu timbulnya kemiskinan di kalangan masyarakat terdampak. Masyarakat yang selamat dari bencana diketahui telah kehilangan harta benda serta mata pencaharian atau pekerjaan mereka.
“Mereka yang selamat nyawanya juga sangat mungkin akan sulit menghadapi kehidupan pasca bencana. Rumah sudah tidak ada, harta juga sudah hilang, habis. Kalau mereka dulu punya tempat usaha, lapangan kerja juga sudah lenyap. Jika tidak segera dibantu pemerintah dan masyarakat, sulit kiranya membayangkan, bagaimana mereka harus menjalani kehidupan dimasa mendatang,” ungkap KH Athian dengan nada prihatin.
Prioritas Bantuan dan Penyelesaian Hukum
KH Athian menyepakati bahwa saat ini konsentrasi bangsa Indonesia harus tertuju pada upaya membantu saudara-saudara di Aceh, Sumut, dan Sumbar secara maksimal, khususnya dalam fase pasca bencana. Namun, hal ini tidak boleh mengabaikan penyelesaian kasus kejahatan lingkungan dan perusakan hutan yang harus tetap dituntaskan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Peran Ulama dalam Menjaga Lingkungan
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, KH Athian berharap ulama khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi-organisasi Islam dapat berperan aktif dalam mengingatkan pemerintah dan pelaku usaha agar menjaga dan merawat alam, khususnya hutan. Menurutnya, umat Islam yang diwakili para ulama dalam wadah MUI harus mampu mendesak pemerintah untuk memberikan hukuman yang tegas bagi para perusak hutan.
“Ajaran Islam sangat memberi perhatian penuh terhadap alam dan lingkungan. Banyak ayat Al Quran dan hadits yang mengingatkan kaum Muslimin akan pentingnya menjaga alam ini sesuai fungsi dan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Para ulama khususnya MUI dan ormas Islam diharapkan tidak berdiam diri melihat kerusakan alam, sebab itu juga bagian dari amar ma’ruf nahi munkar,” ajak KH Athian kepada para ulama dan organisasi Islam.
Tanggung Jawab Kolektif
Kerusakan negeri ini, sambung KH Athian, bisa jadi disebabkan oleh diamnya para ilmuwan dan ulama yang membiarkan pelaku kejahatan beroperasi tanpa rintangan.
” Bisa jadi rusaknya negeri ini karena keberadaan dan ulah sekelompok orang yang merusak di satu sisi, dan diamnya orang-orang yang tahu di sisi yang lain. Keduanya sama-sama berjamaah dalam terjadinya kerusakan yang karenanya sama-sama berdosa dihadapan Allah SWT,” KH Athian mengingatkan tentang tanggung jawab kolektif.
Pernyataan FUUI ini menjadi pengingat keras bagi semua pihak, baik pemerintah, penegak hukum, pengusaha, maupun masyarakat luas, akan pentingnya menjaga alam dan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tragedi yang menimpa Sumatera seharusnya menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang di masa mendatang.[ ]














