BANDUNG, Kanal Berita – – Statistik terbaru menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah penganut aliran kepercayaan atau penghayat di wilayah Jawa Barat sepanjang tahun 2024. Berdasarkan data yang dipublikasikan melalui portal opendata.jabar.go.id dengan nomor file 15128, tercatat kenaikan dari 3.275 orang di tahun 2023 menjadi 3.279 orang pada 2024, yang berarti mengalami peningkatan sebesar 0,12 persen.
Meski secara keseluruhan angka peningkatan tampak modest, namun beberapa wilayah menunjukkan dinamika yang cukup mencolok. Kabupaten Subang mencatat rekor pertumbuhan paling tinggi dengan angka yang mencengangkan. Jumlah penghayat di kabupaten tersebut mengalami lompatan dramatis dari 29 jiwa pada tahun sebelumnya menjadi 46 jiwa di 2024, mencerminkan kenaikan spektakuler hingga 58 persen.
Fenomena ini mendapat respons serius dari kalangan tokoh agama, khususnya dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI). Ketua FUUI, KH Athian Ali M.Dai, memberikan pandangan yang komprehensif mengenai situasi ini dengan pendekatan yang berimbang antara toleransi beragama dan tanggung jawab dakwah.
Dalam perspektif teologisnya, KH Athian menegaskan prinsip fundamental kebebasan beragama yang telah digariskan dalam ajaran Islam. Menurutnya, Allah SWT telah memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk menentukan pilihan antara beriman atau kafir sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al Kahfi ayat 29.
“Seorang yang memilih menjadi kafir, apakah dalam bentuk musyrik, munafik bahkan mulhid ( atheis ) sekalipun, itu menjadi hak yang bersangkutan yang harus dihormati sebagai sebuah pilihan hidup,” terang KH Athian dengan tegas.
Namun demikian, ketua FUUI tersebut menggarisbawahi adanya batasan yang jelas dalam konteks kebebasan tersebut. Permasalahan baru muncul manakala seseorang yang memiliki kekuasaan secara aktif menyebarluaskan keyakinannya yang bertentangan dengan ajaran Islam.

” Sehingga besar kemungkinan umat Islam yang masih awam akan ikut tersesat , karena mengira faham dan ajaran tersebut hanyalah sebatas budaya, padahal hakikatnya mengandung nilai-nilai kemusyrikan,” imbuhnya dengan nada keprihatinan.
Kondisi inilah yang menurut KH Athian menuntut peran aktif dari para ulama dan da’i dalam memberikan pencerahan kepada umat. Ia menekankan bahwa tanggung jawab untuk mengingatkan dan memberikan pemahaman yang benar kepada umat menjadi kewajiban yang tidak bisa diabaikan.
” Setiap muslim wajib diberikan pemahaman akidah yang benar, dengan menjauhi segala bentuk kemusyrikan, karena dengan kemusyrikan sekecil apapun, Allah haramkan seseorang untuk menikmati syurga-Nya ( HR. Bukhari ) ,” tegas KH Athian
Rujukan teologis yang disampaikan KH Athian semakin diperkuat dengan mengutip surat An Nisa ayat 48, dimana orang musyrik terancam kekal di neraka, karena Allah SWT tidak akan pernah mengampuni setiap orang yang mati dalam kemusyrikan.
Dalam analisisnya, KH Athian mengidentifikasi dua faktor utama yang berkontribusi terhadap fenomena jatuhnya seseorang kedalam kemusyrikan karena mengikuti aliran kepercayaan tertentu. Pertama, faktor internal yang lebih banyak disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan keagamaan yang bersangkutan.
Kedua, faktor eksternal, terutama jika dilakukan oleh pihak penguasa atau yang memiliki pengaruh di masyarakat dengan misalnya melaksanakan upacara ritual-ritual tertentu yang dikemas dalam budaya atau kearifan lokal. Padahal sangat jelas sekali jika ritual-ritual tersebut mengandung nilai-nilai kemusyrikan,” terang KH Athian
Kritik tajam juga dilontarkan terhadap pejabat yang bukannya berkonsentrasi penuh melaksanakan tugas dan kewajiban yang diamanahkan masyarakat kepadanya, malah justru sibuk mempromosikan praktik-praktik kemusyrikan dengan kedok budaya lokal.
KH Athian secara implisit menyinggung figur pemimpin yang gemar mempertontonkan dan mempraktikkan kemusyrikan yang dibungkus dalam kemasan budaya.
” Jika keyakinan yang nyata- nyata menurut Islam mengandung nilai kemusyrikan tersebut hanya untuk dirinya sendiri tentu saja itu merupakan hak seseorang yang harus dihormati. Tetapi ketika kemusyrikan tersebut disebarkan dengan berbagai cara kepada masyarakat, maka disini letak masalahnya ” terang KH Athian.
Aspek legal juga menjadi perhatian serius, dimana KH Athian mengingatkan bahwa aktivitas penyebaran paham atau keyakinan kepada penganut agama lain, telah melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979,
Dengan demikian, praktik penyebaran kemusyrikan, tidak hanya bermasalah dari segi Agama,tapi juga dari aspek hukum positif,” ujarnya
Dalam konteks budaya lokal, KH Athian menunjukkan sikap yang bijaksana dengan menegaskan bahwa Islam pada dasarnya sangat menghargai kearifan budaya. Ajaran Islam tidak serta-merta melarang praktik budaya, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
“Islam sendiri tidak serta merta mengharamkan atau melarang sebuah budaya. Selama praktik budaya tersebut tidak mengandung kemusyrikan dan atau bertentangan dengan prinsip dasar tauhid dan hukum Islam,” terang KH Athian.
Sebagai penutup, KH Athian menyerukan kepada semua pihak, khususnya para ulama, da’i, dan organisasi masyarakat Islam untuk meningkatkan intensitas dakwah, terutama kepada kaum muslimin yang masih awam. Menurutnya, prinsip amar ma’ruf nahi munkar harus dilaksanakan secara utuh dan seimbang.
” Seseorang tidak akan selamat dunia akhirat jika hanya bermodalkan iman dan amal saleh saja, tapi juga harus ‘ Tawaa-shau bil hak wa tawaa -shau bish shabr ‘ saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran, dengan tidak hanya berupaya mengajak kepada yang ma’ruf saja, tapi juga mencegah segala bentuk kemungkaran,” pungkasnya dengan merujuk kepada Al-Quran surah Al ‘Ashr [ ]














