KANALBERITA.COM – Di era transformasi digital saat ini, upaya memperkuat ekonomi nasional melalui sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menghadapi tantangan baru. Meskipun pemerintah gencar mendorong digitalisasi, tidak semua pelaku UMKM mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan sistem keuangan modern.
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, tingkat literasi keuangan Indonesia berada di angka 49,68%, sementara inklusi keuangan sudah mencapai 85,10% (Otoritas Jasa Keuangan, 2022). Artinya, lebih dari setengah populasi UMKM Indonesia belum mampu memanfaatkan teknologi secara efisien dan memahami konsep finansial secara matang.
Kondisi ini semakin terlihat di tengah meningkatnya adopsi pembayaran digital dan penggunaan aplikasi keuangan, tetapi sebagian besar pelaku usaha kecil masih tertinggal dalam kemampuan literasi finansial dan digital. Sejumlah pelaku UMKM di berbagai daerah mengaku belum terbiasa menggunakan teknologi finansial, termasuk sistem pembayaran digital seperti QRIS.
“Saya masih menerima uang tunai, belum berani pakai QRIS karena takut salah pencet dan tidak masuk ke rekening,” ujar Murni, pedagang sembako asal Yogyakarta.
Sementara itu, pengrajin sandal kulit di Bantul, Budi Hartono, menyampaikan hal senada. “Anak-anak muda mungkin cepat belajar, tapi kami ini masih bingung. Mau ikut pelatihan saja kadang tidak tahu caranya daftar online,” katanya.
Beberapa pelaku usaha lainnya juga menyebut keterbatasan perangkat dan akses internet sebagai penghambat utama dalam proses digitalisasi usaha mereka. Selain itu, banyak pelaku UMKM menghadapi kendala dalam memperoleh informasi dan bimbingan yang tepat terkait pengelolaan keuangan digital.
Sebagian besar pelatihan yang tersedia masih terpusat di wilayah perkotaan, sehingga pelaku usaha di daerah pedesaan atau pinggiran sering kali tertinggal dalam mengakses program tersebut. Padahal, menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (2024), sekitar 60% UMKM berada di daerah rural yang minim fasilitas pendukung digital. Beberapa di antara mereka bahkan belum mengetahui manfaat dari sistem keuangan digital, seperti pencatatan otomatis atau laporan penjualan daring.
Ketimpangan akses infrastruktur dan literasi ini membuat sebagian besar UMKM tetap bergantung pada metode tradisional dalam menjalankan usahanya, sehingga potensi efisiensi dan peningkatan produktivitas melalui digitalisasi belum sepenuhnya dapat dirasakan secara merata.
“Jebakan Arus Kas”: Risiko bagi UMKM Tanpa Literasi
Rendahnya literasi keuangan membuat sebagian UMKM terjebak dalam masalah pengelolaan arus kas. Banyak pelaku usaha yang belum memahami pencatatan keuangan sederhana dan manajemen modal kerja. Akibatnya, peningkatan transaksi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan laba.
Survei studi UMKM nasional 2023 yang dirilis oleh Lembaga Penelitian Bisnis Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 63% UMKM tidak melakukan pencatatan keuangan tertulis sama sekali, dan 45% di antaranya menyatakan tidak tahu berapa keuntungan bersih usahanya tiap bulan.
Kondisi ini semakin merumitkan mereka dalam merencanakan pengeluaran modal maupun membayar utang tepat waktu. Di lapangan, pelaku UMKM kerap menghadapi kesulitan mencatat pemasukan dan pengeluaran secara akurat, sehingga sulit mengetahui posisi keuangan yang sebenarnya. Kondisi ini berdampak pada minimnya kemampuan mereka dalam mengambil keputusan strategis, terutama saat membutuhkan pinjaman modal atau menentukan harga jual.
Hambatan Adaptasi Teknologi
Selain keterbatasan literasi finansial, hambatan terbesar bagi banyak pelaku UMKM adalah adaptasi terhadap teknologi digital. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (2025), adopsi sistem pembayaran berbasis QRIS memang meningkat signifikan, tetapi sebagian besar pelaku UMKM belum mampu memanfaatkan data transaksi digital untuk menilai performa keuangan usahanya.
Lebih dari itu, sebagian pelaku usaha di wilayah pedesaan masih mengalami keterbatasan infrastruktur jaringan internet dan perangkat elektronik. Minimnya pelatihan teknis juga membuat proses digitalisasi berlangsung lambat. Di beberapa daerah, pelaku UMKM bahkan belum memiliki rekening bank aktif yang terhubung dengan aplikasi finansial, sehingga transaksi masih berlangsung secara manual.
Kondisi tersebut turut diperparah oleh rendahnya kepercayaan sebagian pelaku usaha terhadap sistem digital. Banyak di antara mereka yang masih menganggap transaksi daring berisiko tinggi karena kekhawatiran akan penipuan dan keamanan data. Beberapa pelaku UMKM juga mengaku bingung dalam mengoperasikan aplikasi keuangan karena tampilannya dianggap rumit dan tidak disesuaikan dengan kemampuan pengguna pemula. Akibatnya, teknologi yang semestinya dapat membantu efisiensi justru belum dimanfaatkan secara optimal.
Aspirasi dari Pelaku UMKM
Pelaku UMKM berharap adanya pendekatan yang lebih membumi dalam program literasi keuangan dan digitalisasi. “Kami butuh pendampingan yang tidak hanya lewat webinar, tapi datang langsung ke pasar,” ujar Bagus, pemilik kedai kopi di Bekasi. Ia menambahkan bahwa pelatihan harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Sementara itu, pelaku usaha muda seperti Nuraini, penjual makanan khas Betawi, berharap agar pemerintah dan lembaga keuangan memberikan panduan praktis yang sederhana. “Kalau ada aplikasi yang bisa bantu catat uang masuk dan keluar tanpa ribet, pasti banyak yang mau pakai,” ujarnya.
Aspirasi tersebut mencerminkan kebutuhan nyata para pelaku usaha terhadap dukungan yang tidak hanya berbentuk program formal, tetapi juga pendampingan intensif yang relevan dengan kondisi sosial dan kapasitas digital mereka. Aspirasi tersebut mencerminkan kebutuhan nyata para pelaku usaha terhadap dukungan yang tidak hanya berbentuk program formal, tetapi juga pendampingan intensif yang relevan dengan kondisi sosial dan kapasitas digital mereka.
Beberapa pelaku usaha juga menilai bahwa kegiatan literasi yang digelar selama ini masih bersifat seremonial dan belum menjangkau komunitas usaha mikro di tingkat kelurahan atau pasar tradisional. Mereka berharap agar kegiatan edukasi dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan pendamping lokal yang memahami karakteristik ekonomi setempat, sehingga hasilnya lebih terasa dan berdampak langsung pada pengelolaan usaha sehari-hari.
Meskipun berbagai kebijakan dan pelatihan telah disiapkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM masih berjuang menghadapi perubahan. Kini, pelaku UMKM berada di persimpangan antara keinginan untuk bertahan dan tuntutan zaman yang menuntut adaptasi digital. Dengan mendengarkan aspirasi dan memperkuat literasi finansial, harapannya transformasi digital tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menjadi jalan menuju kesejahteraan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Upaya memperkuat daya saing UMKM tidak dapat berjalan secara independen. Realisasi tersebut memerlukan sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, komunitas lokal, dan generasi muda agar proses adaptasi digital dapat berlangsung secara merata. Kolaborasi lintas sektor ini penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pelaku usaha kecil, mulai dari akses pelatihan hingga pendampingan penggunaan teknologi. Dengan dukungan yang terarah, UMKM diharapkan tidak hanya bertahan di tengah perubahan digital, tetapi juga mampu menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional yang tangguh dan berkeadilan. (*)
Penulis : Zufar Purwa Sanosuke. Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada








