Ternyata takdir berkata lain. Ketika aku mendaftarkan beasiswa di tempat lain, tiba-tiba pihak pesantren dimana aku belajar memilih aku sebagai penerima beasiswa di Somuncubaba
Memantapkan pilihan
Memasuki bulan Januari, sekolah mulai sibuk dengan berbagai program persiapan ujian, angket sekolah lanjutan, konsultasi dengan guru BK (Bimbingan Konseling), dan kegiatan lainnya. Sebagian teman-temanku sudah diterima di beberapa sekolah, sementara sebagian lainnya sibuk mengikuti testing, PPDB, atau PSB.
Sedangkan aku, tentu saja, masih sibuk mempersiapkan pendaftaran beasiswa . Jika aku tidak salah ingat, situs pendaftaran beasiswa dibuka pada akhir Januari. Sejak awal Januari, aku terus memantau informasi terbaru—apakah situs pendaftaran sudah dibuka atau belum. Selain itu, aku juga mulai mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan.
Pada awal Januari, sekolah mengadakan pengisian angket sekolah lanjutan dan sesi konseling bersama BK. Aku ingat ada dua kolom yang harus diisi: pilihan pertama dan kedua untuk rencana sekolah. Rata-rata teman-temanku mengisi kolom kedua dengan pilihan melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA). Aku agak lupa apa yang aku tulis di kolom kedua, tetapi di kolom pertama tanpa ragu aku menulis “Turki.” Waktu itu, aku belum bisa menuliskan nama sekolahnya karena pendaftarannya belum dibuka.
Meskipun ada saja yang menertawakan pilihanku, aku tetap yakin dan optimis. Bahkan guru BK sempat bertanya, “Sudah yakin? Bagaimana tanggapan orang tua?” Beliau juga menyarankan agar aku melanjutkan SMA di Indonesia dulu. Tapi, karena aku benar-benar ingin mencoba, aku tetap teguh pada pendirianku.
Selang beberapa waktu setelah pengisian angket, saat pelajaran TIK di lab komputer, kepala sekolahku bertanya, “Mau lanjut SMA ke mana?” Lagi-lagi, tanpa ragu, aku menjawab singkat dan jelas, “Turki.” Mungkin karena saking semangat dan percaya dirinya aku, beliau malah tersenyum dan menyemangatiku untuk belajar lebih giat, terutama dalam persiapan bahasa. Jika aku mengingat kembali momen itu, rasanya lucu. Namun, bukannya minder, aku justru merasa lebih semangat setiap kali mendapat pertanyaan seperti itu, terlepas dari respons positif atau negatif yang aku terima.
Menyiapkan dokumen
Memasuki akhir Januari, kesibukan semakin terasa. Aku sering mengajukan izin keluar pondok untuk keperluan persiapan dokumen. Karena jarak antara rumah dan pondok cukup jauh, yaitu beda kota, waktu yang diperlukan cukup banyak, sehingga aku sedikit tertinggal pelajaran. Jika aku tidak salah, dokumen pertama yang aku siapkan adalah transkrip nilai dan surat keterangan sehat. Sementara itu, dokumen seperti kartu keluarga (KK) terjemahan biasanya disiapkan belakangan.
Aku sering bolak-balik Bandung-Garut menggunakan KAI Komuterline. Biasanya, ayahku membelikan tiket untuk perjalanan sore hari. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 5, aku sudah siap di depan ruang musyrifah untuk mengajukan izin pulang dan mengambil ponsel yang dititipkan. Aku kemudian memesan ojek online dan menunggu di depan pos satpam. Saat itu, jalanan Garut masih sangat sepi, hanya ada beberapa angkot menuju pasar.
Di perjalanan dengan KAI Komuterline, aku menikmati pemandangan sepanjang jalan yang sangat indah—sawah, gunung, tebing, hingga matahari terbit. Ada satu stasiun kecil yang aku lupa namanya. Biasanya, kereta berhenti cukup lama di sana, sehingga para penumpang turun untuk membeli jajanan seperti teh dingin, bakso ikan, cilok, dan lainnya. Suasana di stasiun desa ini berbeda dengan di kota. Jika di kota, area rel kereta benar-benar dipagari dan tertutup, sementara di desa, rel kereta sering kali terbuka dan bercampur dengan aktivitas warga sekitar.
Perjalanan pulang-pergi Garut-Bandung selalu menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Meski kadang terasa melelahkan, aku selalu merasa bersemangat karena ini adalah bagian dari proses perjuanganku. Selain mempersiapkan dokumen, aku juga memanfaatkan waktu di perjalanan untuk membaca atau sekadar merenung.
Ketika semua dokumen telah siap, aku mulai mendaftar secara daring melalui website. Rasanya campur aduk—senang, cemas, sekaligus penuh harapan. Proses pendaftaran ini tidaklah mudah. Selain harus memastikan semua dokumen lengkap, aku juga harus melewati proses seleksi yang cukup ketat. Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan dokumen terjemahan sesuai standar, mengingat akses terhadap jasa penerjemah di daerah tempatku tinggal terbatas.
Menantikan pengumuman
Hari demi hari, aku menunggu hasil seleksi dengan penuh doa. Di tengah kesibukan sekolah dan kegiatan pondok, aku mencoba untuk tetap fokus dan tidak terlalu terbebani oleh kekhawatiran. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa apa pun hasilnya, setidaknya aku telah mencoba yang terbaik.
Ternyata takdir berkata lain. Ketika aku mendaftarkan beasiswa di tempat lain, tiba-tiba pihak pesantren di mana aku belajar memilih aku sebagai penerima beasiswa di Somuncu Baba. Dari sekian banyak santri, aku terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk menerima beasiswa itu. Tentu hal itu sesuatu hal yang benar-benar tidak aku sangka. Allah Swt mengabulkan doa-doaku dan memberi kemudahan yang begitu luar biasa.
Aku sangat berterima kasih sekali pada pihak Pesantren Persis Rancabogo yang telah memberikan kepercayaan yang besar padaku. Terima kasih tak terhingga untuk pesantrenku. Engkau menjadi jalan penyambung impianku meraih mimpi untuk sekolah ke Turki.
Namun, perjuangan tidak berhenti di sini. Aku harus mempersiapkan keberangkatan ke Turki, termasuk mengurus visa, tiket, dan adaptasi dengan budaya baru. Semua persiapan ini penuh tantangan, tetapi aku menjalaninya dengan penuh semangat. Aku sadar, ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk meraih cita-citaku.

Kini, saat aku sudah berada di Turki, aku sering merenungkan perjalanan yang telah aku lalui. Dari seorang anak pesantren yang hanya bermodal mimpi besar, aku berhasil mewujudkan keinginan untuk belajar di luar negeri. Semua ini tidak lepas dari doa, usaha, dan dukungan dari orang-orang di sekitarku.
Aku berharap, cerita ini dapat menginspirasi orang lain untuk terus berjuang meraih mimpi, apa pun rintangannya. Sebab, dengan keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh, mimpi yang tampak jauh sekalipun dapat menjadi kenyataan.
Penulis adalah pelajar yang saat ini tinggal Turki dan bersekolah di özel Hacı Naciye Ateş Anadolu Lissesi, penerima beasiswa dari lembaga Somuncu Baba Eğitim Kültür ve Sosyal Yardımlaşma Derneği.