KANALBERITA.COM – Sebuah studi terkini mengindikasikan bahwa peningkatan penggunaan media sosial pada anak-anak usia 10 hingga 14 tahun berpotensi menurunkan tingkat konsentrasi mereka dan berkontribusi pada timbulnya gejala defisit perhatian dan hiperaktivitas (ADHD). Penelitian yang melibatkan lebih dari 8.300 anak di Amerika Serikat ini membandingkan waktu yang dihabiskan anak-anak untuk berbagai aktivitas digital.
Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan rata-rata 2,3 jam sehari untuk menonton televisi atau video daring, 1,4 jam di media sosial, dan 1,5 jam untuk bermain video game. Menariknya, tidak ditemukan korelasi antara bermain video game atau menonton TV dan YouTube dengan gejala ADHD seperti mudah teralihkan. Namun, paparan media sosial dalam jangka waktu tertentu secara konsisten dikaitkan dengan meningkatnya gejala kesulitan berkonsentrasi.
ADHD sendiri merupakan gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan impulsivitas, kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari, dan hambatan dalam mempertahankan fokus. Laporan yang diterbitkan ini mengobservasi anak-anak pada rentang usia sembilan hingga 10 tahun antara tahun 2016 dan 2018, dan akan dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics Open Science.
Para peneliti dari Karolinska Institute di Swedia dan Oregon Health & Science University di Amerika Serikat mengidentifikasi adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan media sosial dan peningkatan gejala ketidakmampuan berkonsentrasi. “Meskipun ukuran efeknya kecil pada tingkat individu, hal ini dapat memiliki konsekuensi signifikan jika perilaku berubah pada tingkat populasi. Temuan ini menyarankan bahwa penggunaan media sosial mungkin berkontribusi pada peningkatan insiden diagnosis ADHD,” ungkap studi tersebut.
Media Sosial sebagai Pemicu Utama
Torkel Klingberg, seorang profesor neurosains kognitif di Karolinska Institute, menjelaskan bahwa media sosial secara spesifik memengaruhi kemampuan anak-anak untuk berkonsentrasi. “Media sosial melibatkan gangguan konstan dalam bentuk pesan dan notifikasi, dan hanya dengan memikirkan apakah ada pesan yang masuk saja sudah dapat menjadi gangguan mental. Hal ini memengaruhi kemampuan untuk tetap fokus dan dapat menjelaskan hubungan tersebut,” ujarnya.
Kajian ini juga mengungkapkan bahwa korelasi dengan ADHD tidak dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi atau kecenderungan genetik. Klingberg menambahkan bahwa peningkatan penggunaan media sosial dapat menjadi salah satu penjelasan bagi peningkatan diagnosis ADHD, yang naik dari 9,5 persen pada periode 2003-2007 menjadi 11,3 persen pada 2020-2022 di Amerika Serikat.
Para peneliti menegaskan bahwa temuan ini tidak berarti semua pengguna media sosial akan mengalami masalah konsentrasi. Namun, mereka menyoroti tren peningkatan penggunaan media sosial oleh anak-anak, bahkan sebelum mencapai usia minimum 13 tahun yang disyaratkan oleh banyak platform seperti TikTok dan Instagram. Penggunaan rata-rata media sosial meningkat dari sekitar 30 menit per hari pada usia sembilan tahun menjadi dua setengah jam per hari pada usia 13 tahun.
“Penggunaan media sosial yang semakin dini dan meningkat ini menyoroti perlunya verifikasi usia yang lebih ketat dan pedoman yang lebih jelas bagi perusahaan teknologi,” tegas laporan tersebut. Samson Nivins, salah satu penulis studi, berharap temuan ini dapat membantu orang tua dan pembuat kebijakan dalam membuat keputusan yang terinformasi demi mendukung perkembangan kognitif anak-anak melalui konsumsi digital yang sehat.














