BANDUNG, Kanal Berita – Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menunjukkan ketegasan dalam memimpin negara dan melepaskan diri dari pengaruh mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Desakan ini muncul di tengah berkembangnya persepsi publik tentang adanya “matahari kembar” dalam pemerintahan saat ini.
Ketua Umum FUUI, KH Athian Ali M.Dai, menyampaikan keprihatinannya atas fenomena yang dianggap tidak ideal dalam sistem kepemimpinan nasional, di mana terkesan ada kekuatan lain yang turut memengaruhi arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Anggapan tentang adanya ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan seharusnya tidak terjadi jika Presiden Prabowo bersikap tegas,” ungkap KH Athian dalam keterangan resminya di, Kamis (8/5/2025).
Fenomena “matahari kembar” ini, menurut berbagai pengamat politik, ditandai dengan beberapa indikator, mulai dari komposisi kabinet yang masih didominasi oleh orang-orang dekat Jokowi, hadirnya menteri yang pernah menjadi tersangka di era sebelumnya, hingga intensnya komunikasi sejumlah pejabat pemerintah dengan mantan presiden. Situasi ini semakin diperkuat dengan penugasan Jokowi sebagai utusan pemerintah Indonesia dalam acara pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan beberapa waktu lalu.
“Demikian juga saat Paus meninggal yang diutus adalah mantan presiden Jokowi, sosok yang tidak punya jabatan di pemerintahan tetapi mewakili pemerintah Indonesia. Mestinya setingkat wapres, atau Menteri lebih tepat dibanding mantan presiden,” kritik KH Athian.
Meskipun Presiden Prabowo telah berulang kali membantah adanya intervensi dari pendahulunya, persepsi publik tentang hal ini terus berkembang. KH Athian menekankan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk menilai sendiri realitas politik yang terjadi.
Menurut KH Athian, banyak pihak menilai bahwa Prabowo memiliki “utang budi” kepada Jokowi, setidaknya sejak diangkat menjadi Menteri Pertahanan hingga memenangkan pemilihan presiden dengan berduet bersama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai wakil presiden.
“Sejak pemilihan wakil presiden, masa kampanye hingga pengumuman bahkan hingga sidang putusan sengketa Pilpres oleh MK. Rasanya semua ini sudah bukan lagi menjadi rahasia,” ujar KH Athian.
Dalam pandangan Islam, lanjut KH Athian, seorang pemimpin memiliki otoritas penuh atas apa yang dipimpinnya. Ia mengibaratkan kepemimpinan seperti posisi imam dalam shalat, yang merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di mana hanya ada satu imam yang harus dipatuhi oleh seluruh makmum.
“Tentu sepanjang imam mematuhi hukum shalat, ya harus dipatuhi. Meski demikian bukan berarti mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak bisa diganti, jika dianggap batal maka imam shalat bisa bahkan harus diganti. Seorang pemimpin juga harus siap untuk dikritik atau dibetulkan jika ada hal yang salah atau tidak tepat, tak ubahnya makmum yang membetulkan atau mengingatkan Imam yang salah atau terlupa bacaan shalatnya,” terangnya.
KH Athian juga mengingatkan tentang teladan kepemimpinan dari sejarah Islam, merujuk pada pidato Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq saat secara resmi dinobatkan sebagai khalifah pasca wafatnya Rasulullah SAW. Dimana diawal pemerintahannya beliau menyatakan : ‘jika saya benar dalam menjalankan amanah ini sesuai syariat maka tidak ada alasan bagi kalian untuk tidak mematuhi’. Tetapi jika saya berbuat kesalahan, melanggar ketentuan syariah, maka tidak ada alasan bagi kalian untuk tidak menegur atau membetulkan kesalahan saya,” ujar KH Athian menirukan ucapan Abu Bakar.
Praktik serupa, menurut KH Athian, juga dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yang menunjukkan keterbukaan seorang pemimpin terhadap kritik dan koreksi dari rakyatnya.
Menghadapi situasi politik terkini, KH Athian menekankan pentingnya dukungan rakyat terhadap pemerintahan yang sah.
“Saat ini Presiden Prabowo sudah dilantik dan menjabat sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara secara resmi, maka tidak ada alasan bagi rakyat Indonesia untuk tidak mendukungnya sepenuh hati,” katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa dukungan tersebut perlu diimbangi dengan ketegasan Presiden Prabowo dalam menjalankan kepemimpinannya sendiri, tanpa bayang-bayang pengaruh dari era sebelumnya.
“Maka Pak Prabowo harus menjadi pemimpin tunggal, jangan ada lagi kesan sebagai pemimpin bayangan. Ini harus beliau tunjukkan kepada rakyat Indonesia, bukan hanya pada yang memilihnya saja,” tegasnya.
Sebagai penutup, KH Athian juga menyampaikan pesan kepada mantan pemimpin negeri ini untuk menyadari posisinya “Bagi yang dulu pernah menjadi pemimpin di negeri ini harus sadar bahwa yang bersangkutan sudah kembali menjadi rakyat biasa atau orang yang dipimpin. Jangan sampai masih merasa seperti pemimpin dan ingin tetap memimpin,” tandasnya.
Dr. Syamsuddin Haris, pengamat politik dari LIPI, mengakui bahwa fenomena “matahari kembar” dalam konteks politik Indonesia bukanlah hal baru.
“Secara teoritis, dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif memang terkonsentrasi pada presiden. Namun, dalam praktiknya, dinamika politik selalu melibatkan berbagai faktor dan aktor yang ikut memengaruhi jalannya pemerintahan,” jelasnya dilansir dari rakyat merdeka.
Sementara menanggapi kritik dari berbagai pihak, Juru Bicara Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa Presiden Prabowo menjalankan tugasnya sesuai dengan konstitusi dan secara independen.
“Presiden Prabowo Subianto adalah pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan yang menjalankan tugasnya sesuai mandat rakyat dan konstitusi. Beliau memimpin pemerintahan dengan penuh kedaulatan dan tidak diintervensi oleh siapapun,” tegasnya dilansir dari metronews. [ ]