JAKARTA – Rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengirimkan siswa yang sering bermasalah atau terlibat perkelahian ke barak militer untuk pelatihan disiplin mendapat dukungan dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai. Pernyataan dukungan ini disampaikan pada Senin (12/5/2025) kemarein, dan menimbulkan perdebatan publik mengenai pelanggaran hak asasi manusia serta metode pendidikan yang diterapkan.
Pigai menekankan bahwa program ini bukanlah pendidikan militer, melainkan pendidikan di lingkungan militer di barak pendidikan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan disiplin, mentalitas, tanggung jawab, dan moral siswa yang bermasalah. Ia meyakinkan publik bahwa program ini tidak akan melanggar hak asasi manusia karena tidak akan melibatkan kekerasan fisik. Fokusnya adalah pada pelatihan disiplin yang diberikan oleh pihak militer.
“Ini bukan pendidikan militer. Siswa sedang dididik di barak—barak pendidikan,” jelas Pigai. Ia menambahkan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin, mentalitas, tanggung jawab, dan moral.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, “Mengapa tidak? Bahkan, pendidikannya akan jauh lebih baik. Jadi di mana pelanggaran HAM-nya?” tanyanya. “Saya sudah mengeceknya. Gubernur datang ke kantor saya. Saya bertanya apakah akan ada kekerasan fisik—ia mengatakan tidak.”
Pigai menjelaskan bahwa hukuman seperti mencubit telinga atau memukul dengan rotan—yang umum terjadi di masa lalu—merupakan hukuman fisik dan bukan bagian dari rencana saat ini.
“Itu hukuman fisik, dan itulah yang kami tidak setujui. Tetapi saya sudah memeriksa: Bapak Dedi Mulyadi telah menyatakan bahwa praktik tersebut tidak terlibat. Fokusnya adalah pada peningkatan kemampuan, keterampilan, dan produktivitas,” tegasnya.
Pigai, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyatakan bahwa inisiatif gubernur ini dirancang untuk membangun disiplin dan karakter, menumbuhkan ketahanan mental, dan menanamkan rasa tanggung jawab pada siswa.
Menanggapi kritik bahwa program ini mungkin melanggar hak asasi manusia dan telah dilaporkan ke Komnas HAM, Pigai berpendapat bahwa komisi tersebut salah memahami konteks program.
“Jika mereka benar-benar memahami Deklarasi Beijing atau Pedoman Riyadh tentang sistem peradilan anak, mereka akan tahu bahwa ini bukan bagian dari proses peradilan pidana anak,” ujarnya. (Sumber : Antara)