BANDUNG, Kanal Berita – Kratom, tanaman tropis asal Asia Tenggara, tengah menjadi fenomena di Amerika Serikat. Diperkirakan belasan juta warga Amerika mengkonsumsi kratom secara aktif, menjadikannya topik hangat dalam diskusi kesehatan publik dan kebijakan obat-obatan.
Meskipun lembaga pemantau obat Amerika Serikat menyatakan kratom tidak memiliki manfaat medis, banyak pengguna melaporkan efektivitasnya sebagai pereda nyeri alami dan alternatif yang lebih aman dari opioid. Di Asia Tenggara sendiri, kratom telah digunakan selama ratusan tahun untuk berbagai keperluan pengobatan, termasuk mengatasi diare, nyeri kronis, dan bahkan membantu mengatasi kecanduan narkoba.
Namun, pola konsumsi kratom di Amerika berbeda signifikan dengan penggunaan tradisional di Asia Tenggara. Warga Amerika cenderung menggunakan dosis yang jauh lebih tinggi, mencapai 5 sendok teh, dibandingkan dengan dosis 0,5 hingga 2 sendok teh yang umum di Kalimantan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan dan efek samping.
Di tengah kontroversi, kratom juga dipandang sebagai solusi potensial bagi krisis opioid di Amerika. Banyak mantan pecandu heroin dan opioid kuat lainnya melaporkan keberhasilan menggunakan kratom untuk mengatasi kecanduan mereka. Meskipun demikian, industri farmasi besar (Big Pharma) dianggap berupaya mengkriminalisasi kratom, mungkin karena potensinya mengancam pasar obat-obatan mereka.
Dari sisi ekonomi, kratom menjadi komoditas ekspor yang menjanjikan bagi Indonesia. Pada tahun 2023, ekspor kratom Indonesia mencapai 8.000 ton dengan nilai sekitar 17 juta dolar AS, dengan Amerika Serikat sebagai tujuan utama. Di Kalimantan Barat, produksi kratom mencapai 6.000 ton per bulan pada tahun 2023, melibatkan ribuan petani dan lahan seluas lebih dari 11.000 hektar.
Meskipun nilai ekspornya belum sebesar komoditas tambang, kratom memiliki potensi besar untuk mengangkat ekonomi petani kecil dan menengah. Namun, tantangan muncul ketika Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia memasukkan kratom ke dalam daftar narkotika golongan I yang terlarang.
Situasi ini menciptakan dilema bagi pemerintah Indonesia. Di satu sisi, ada potensi ekonomi yang signifikan dari ekspor kratom. Di sisi lain, ada kekhawatiran tentang penyalahgunaan dan tekanan internasional untuk mengatur peredarannya. Diperlukan pendekatan yang seimbang antara memanfaatkan potensi ekonomi kratom dan menjaga kesehatan publik.
Ke depan, dibutuhkan riset lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya manfaat dan risiko kratom. Pemerintah Indonesia juga perlu melakukan diplomasi dan kampanye yang relevan untuk melindungi kepentingan petani kratom sambil tetap memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan. Dengan pengelolaan yang tepat, kratom bisa menjadi sumber devisa yang signifikan dan membuka peluang pengembangan produk medis berbasis tanaman ini.