BANDUNG, Kanal Berita – Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) kembali menyuarakan keprihatinan terkait beredarnya konten Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menampilkan sosok Nyi Roro Kidul dan kereta kencana di media sosial. Konten tersebut diduga diambil di kantor Gubernuran Jawa Barat dan telah memicu reaksi dari berbagai kalangan, terutama para Ulama dan tokoh masyarakat.
KH. Athian Ali M. Dai, Ketua Umum FUUI, dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa kekhawatiran para Ulama dan Tokoh masyarakat sebenarnya telah muncul sejak Dedi Mulyadi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat. Kekhawatiran tersebut bukan berkaitan dengan kemampuan kepemimpinannya, melainkan terkait dengan latar belakang dan sepak terjangnya selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta.
“Kekhawatiran jika ia terpilih jadi gubernur kebiasaan lamanya terkait mitos dan klenik beraroma kemusyrikan yang dulu disebarkan dan dihidupkan selama memimpin Purwakarta akan kembali disebarkan di Jawa Barat.
Pemilihan Gubernur untuk Memimpin, Bukan Menyebarkan Keyakinan Tertentu
KH. Athian menegaskan bahwa rakyat Jawa Barat yang memilih Dedi Mulyadi hanya untuk memimpin dan mengurus Jawa Barat, bukan untuk mengembangkan mitos Nyi Roro Kidul atau berbagai bentuk keyakinan lainnya yang bertentangan dengan agama mayoritas di Jawa Barat.
” pak Dedi Mulyadi seharusnya fokus pada urusan pemerintah untuk kemajuan dan kemakmuran warga Jabar. Tidak perlu lagi bawa-bawa mitos Ratu Pantai Selatan yang hanya akan membawa keresahan dan kegaduhan warga Jabar, seperti kegaduhan demi kegaduhan yang acapkali terjadi saat ia menjadi bupati Purwakarta yang berujung dengan para Ulama Purwakarta saat itu melaporkan yang bersangkutan ke Polda Jabar atas tuduhan pelecehan dan penistaan Agama” tegasnya.
Lebih lanjut, KH. Athian menambahkan bahwa para ulama dan umat Islam tidak akan membiarkan kegaduhan serupa terjadi di Jawa Barat. Ia mengingatkan bahwa mayoritas penduduk Jawa Barat beragama Islam, yang ajarannya sangat bertentangan dengan kepercayaan dan berbagai kegiatan ritual yang acapkali dilakukan yang bersangkutan.
Batas Antara Budaya dan Keyakinan Agama
Menanggapi dalih Dedi Mulyadi yang kerap menyebut praktiknya sebagai upaya menghidupkan budaya atau kearifan lokal Jawa Barat, KH. Athian memberikan pandangannya tentang hubungan antara Islam dan budaya.
“Islam sendiri tidak anti budaya, bahkan menghargai nilai budaya yang ada dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar akidah dan syariat Islam.” terang KH Athian.
Namun, ia juga menekankan, tidak dibenarkan mencampur-adukkan Islam dengan budaya yang nyata-nyata bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Budaya merupakan hasil olah pikir, rasa, dan karsa manusia yang belum tentu baik dan benar. Jika pun baik menurut perasaan dan pikiran, namun jika bertentangan dengan kebenaran mutlak Illahi, maka pasti tidak benar.

KH. Athian memberi contoh bagaimana Islam mengadopsi budaya yang baik, seperti tradisi menyembelih kambing saat kelahiran anak yang awalnya merupakan persembahan untuk berhala pada masa jahiliyah, kemudian diubah menjadi syariat akikah dengan berbagai perubahan dengan niat karena Allah SWT.
“Namun, sekarang tidak lagi bisa budaya diadopsi dengan ajaran Islam. Sebab, ajaran Islam sudah sempurna dan Rasulullah SAW sudah tidak ada, dimana budaya harus mengikuti ajaran Islam dan bukan sebaliknya syariat Islam yang mengikuti budaya. Sebab budaya bisa salah sedangkan risalah Illahi mutlak benar,” jelasnya.
Tanggapan Terhadap Klaim Sunda Wiwitan
KH. Athian juga menanggapi klaim Dedi Mulyadi yang sering mengaku bahwa praktiknya merupakan bagian dari budaya Sunda, budaya masyarakat Jawa Barat. Menurut hasil diskusinya dengan tokoh Sunda, budaya Sunda sangat jauh dari kesyirikan seperti yang dipraktikkan.
“Dedi Mulyadi sendiri selalu mengaku bahwa yang dipraktikkan adalah budaya Sunda. Namun perlu diketahui bahwa menurut tokoh Sunda tersebut, yang dipraktikkan Pak Dedi Mulyadi kemungkinan besar Sunda Wiwitan, budaya Sunda dahulu kala sebelum ajaran Islam masuk Tatar Sunda sehingga masih terpengaruh keyakinan animisme dan dinamisme, yang sudah lama ditinggalkan oleh umumnya orang Sunda di Jawa Barat,” terang KH Athian.
Ia menambahkan bahwa saat ini Sunda Wiwitan hanya dianut oleh segelintir orang, sementara budaya Sunda yang berkembang sekarang sudah banyak yang selaras dengan ajaran Islam.
Seruan untuk Fokus pada Tugas Pemerintahan
Menyikapi terpilihnya Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat untuk lima tahun ke depan, KH. Athian menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah karena mayoritas penduduk Jawa Barat telah memilihnya. Ia hanya berharap agar Dedi Mulyadi menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan dengan amanah.
“Beliau dipilih untuk menjadi pemimpin pemerintahan di Jawa Barat, silakan dilaksanakan dengan amanah, tanpa menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan ajaran Islam, agama yang dianut mayoritas Masyarakat Jawa Barat,” pintanya.
KH. Athian mengakui bahwa secara pribadi, Dedi Mulyadi memiliki hak untuk beragama atau tidak, serta menjalankan perintah agama atau tidak, sebagai hak pribadi yang harus dihormati. Namun, sebagai pejabat publik yang mendapat sorotan masyarakat, ia meminta agar Dedi Mulyadi tidak menyebarkan paham atau keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas penduduk Jawa Barat.
“Jangan memanfaatkan posisi atau jabatannya untuk menyebarkan atau mempraktikkan keyakinan yang diyakini menyimpang menurut ajaran Islam yang berpotensi menimbulkan keresahan dan kegaduhan di Masyarakat ” pintanya
Sebagai penutup, KH. Athian menyerukan agar Dedi Mulyadi bekerja sesuai amanah untuk memimpin dan memajukan Jawa Barat lima tahun ke depan, bukan sebaliknya membuat kegaduhan dengan konten-konten yang dinilai bertentangan dengan prinsip Islam.
Fenomena ini menunjukkan adanya kekhawatiran dari kalangan agama terhadap praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari ajaran agama mayoritas, serta pentingnya menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama dalam masyarakat yang majemuk seperti di Jawa Barat. [ ]