BANDUNG, Kanal Berita – Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan delapan pengusaha besar di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis (6/3/2025) menuai tanggapan dari kalangan ulama. Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menyampaikan kritik tajam terkait prioritas pemerintahan yang dinilai kurang berpihak pada aspirasi masyarakat, khususnya dalam kasus PIK-1, PIK-2 dan pagar laut di Tangerang.
Delapan konglomerat yang menghadiri pertemuan tersebut adalah Anthony Salim, Sugianto Kusuma (Aguan), Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata. Pertemuan ini terjadi di tengah polemik kasus pagar laut di Tangerang yang telah menimbulkan protes dari masyarakat Banten.
Ketua Umum FUUI, KH. Athian Ali M. Dai, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Presiden yang lebih memilih bertemu dengan para pengusaha besar sementara aspirasi masyarakat Banten yang telah menyampaikan surat terkait kasus pagar laut tidak mendapat respons sama sekali.
“Ini malah justru bertemu dengan para konglomerat , dimana salah satunya justeru disinyalir dalang dibalik pagar laut tersebut. Langkah tersebut tentu saja menyakiti warga Banten. dan menimbulkan persepti buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” ungkap KH. Athian.
Beliau menekankan bahwa dalam ajaran Islam, seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk mendengarkan suara rakyatnya, mengingat legitimasi kepemimpinannya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, seorang pemimpin seharusnya mengutamakan pelayanan terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Sebagai perbandingan, KH. Athian mencontohkan kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang rela berkeliling kampung demi memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. “Seorang ibu yang merebus batu agar anaknya tidur,” tambahnya, merujuk pada kisah klasik tentang kepedulian pemimpin terhadap rakyat kecil.
Ironi yang disoroti oleh KH. Athian adalah bahwa sementara masyarakat Banten melakukan demonstrasi karena merasa diperlakukan tidak adil, presiden justru mengundang para pengusaha ke istana. “Padahal semua orang tahu siapa dan apa peran mereka di PIK-1 , hPIK-2 dan pagar laut tersebut,” tegasnya.
KH Athian juga mengkritisi kondisi paradoks di Indonesia, di mana kekayaan alam melimpah namun tidak tercermin dalam kesejahteraan masyarakatnya secara merata. “Sebagaimana kita tahu para pengusaha tersebut besar dan kaya raya karena mengolah sumber daya alam Indonesia. Bukan hanya mengolah tetapi juga merusak,” jelasnya.
Ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia menjadi sorotan utama kritik KH. Athian. Menurutnya, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, masih banyak warga negara yang hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki tanah, dan menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang siapa sebenarnya yang menikmati kekayaan negeri.
Dalam pandangan Islam, KH. Athian menegaskan bahwa dosa tidak hanya bagi orang yang berbuat zalim saja, tetapi juga bagi mereka yang membiarkan kezaliman terjadi ketika memiliki kekuasaan untuk mencegahnya. ” Jika seorang pemimpin tidak berupaya mempergunakan kekuasaannya untuk menghentikan kedzaliman,maka itu sebuah kedzaliman dari seorang pemimpin ,” terangnya.
KH Athian mengingatkan bahwa kasus pagar laut di Tangerang bukanlah satu-satunya contoh kezaliman terhadap rakyat. Kasus-kasus serupa seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan PIK 2, serta kasus penggusuran di Rempang yang mengakibatkan warga terusir dari tanah mereka sendiri, merupakan bentuk-bentuk kezaliman yang tidak seharusnya dibiarkan berlanjut.
Sebagai penutup, KH. Athian menekankan kembali hakikat kepemimpinan dalam konteks negara demokrasi. “Penguasa atau pemerintah ini dipilih dan diangkat oleh rakyat maka kewajiban dan tugas pokoknya adalah untuk mensejahterakan rakyat dengan seadil-adilnya,” tegasnya. Ia memperingatkan pemerintah untuk tidak mengutamakan hanya untuk mensejahteraan segelintir pengusaha dengan mengorbankan hak-hak dan kesejahteraan rakyat banyak.
Pertemuan antara Presiden Prabowo dengan delapan konglomerat ini terjadi pada masa awal kepemimpinannya, hanya beberapa bulan setelah pelantikan. Banyak pengamat menilai pertemuan ini sebagai indikasi awal tentang arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru, namun kritik dari FUUI mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang menjadi landasan bernegara.
Masyarakat Banten sendiri telah melakukan serangkaian aksi protes terhadap kasus pagar laut yang dianggap merampas akses mereka terhadap wilayah pesisir. Surat yang dikirimkan oleh tokoh dan ulama Banten kepada Presiden Prabowo merupakan upaya untuk mendapatkan perhatian pemerintah pusat terhadap permasalahan ini, namun hingga kini belum ada tanggapan resmi dari istana mengenai penyelesaian kasus tersebut.
Sementara itu, kehadiran delapan pengusaha besar di istana memunculkan spekulasi tentang proyek-proyek investasi baru yang mungkin akan diluncurkan dalam waktu dekat. Namun, FUUI menekankan bahwa setiap kebijakan ekonomi dan investasi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas dan tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat demi keuntungan segelintir pemilik modal. [ ]