JAKARTA, Kanal Berita – Kontroversi melanda dunia musik independen Indonesia setelah grup punk Sukatani Band yang berbasis di Purbalingga, Jawa Tengah, terpaksa meminta maaf kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas lagu mereka berjudul “Bayar Bayar Bayar”.
Video permintaan maaf yang beredar luas di berbagai platform media sosial ini memicu gelombang reaksi solidaritas dari warganet, yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman kritik dan represi terhadap kebebasan berekspresi.
Sukatani Band, yang dikenal dengan penampilan bertopengnta saat konser dan lirik-lirik kritik sosialnya, terlihat tanpa topeng dalam video permintaan maaf tersebut—sebuah kontras yang mencolok dengan citra perlawanan yang selama ini mereka bangun. Muhammad Syifa Al Ufti (Electroguy), gitaris band tersebut, dan Novi Chitra Indriyaki (Twistter Angels), vokalisnya, tampil dengan wajah asli mereka saat menyampaikan permohonan maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian.
“Dengan ini saya mengimbau kepada semua pengguna akun media sosial yang telah memiliki lagu kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, lirik lagu bayar polisi agar menghapus dan menarik semua video menggunakan lagu kami dengan judul Bayar Bayar Bayar. Karena apabila ada risiko di kemudian hari sudah bukan tanggung jawab kami dari band Sukatani,” kata Muhammad Syifa Al Ufti dalam video tersebut.
Kemunculan video ini segera memicu reaksi solidaritas massif di jagat maya. Tagar #KamiBersamaSukatani menjadi viral dan digunakan secara luas oleh pengguna media sosial untuk menyatakan dukungan mereka terhadap band tersebut. Banyak warganet yang menginterpretasikan situasi ini sebagai indikasi tekanan dari pihak kepolisian terhadap kritik yang dilontarkan melalui karya seni.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” sendiri berisi kritik terhadap praktik pungli dan korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi. Dengan lirik yang frontal dan tegas, lagu ini menjadi sorotan karena dinilai “menyinggung institusi polisi”, meskipun sebenarnya hanya mengkritisi oknum-oknum tertentu, bukan keseluruhan lembaga.
Menanggapi kontroversi tersebut, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa Polri tidak antikritik.
“Komitmen dan konsistensi, Polri terus berupaya menjadi organisasi yang modern, yaitu Polri tidak antikritik,” kata Brigjen Trunoyudo ketika dihubungi awak media di Jakarta, Kamis.
Ia juga menekankan bahwa komitmen tersebut telah berulang kali disampaikan oleh pimpinan tertinggi kepolisian.
“Bapak Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo kerap menegaskan hal tersebut kepada seluruh jajaran,” ucapnya.
Meskipun ada pernyataan resmi bahwa Polri tidak antikritik, banyak pengamat dan aktivis hak asasi manusia mengkhawatirkan bahwa kasus Sukatani Band menunjukkan adanya inkonsistensi antara pernyataan dan praktik di lapangan. Mereka berpendapat bahwa respons terhadap lagu kritik semacam ini seharusnya berupa introspeksi internal dan upaya perbaikan, bukan penekanan terhadap pihak yang menyuarakan kritik.
Di tengah kontroversi ini, komunitas musik independen Indonesia menunjukkan solidaritasnya. Beberapa musisi dan band punk lainnya bahkan mulai mengcover lagu “Bayar Bayar Bayar” sebagai bentuk protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai pembatasan kebebasan berekspresi.
Fenomena ini juga memicu diskusi lebih luas tentang ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Para akademisi dan pengamat sosial-politik menyoroti pentingnya menjaga ruang kritik dalam demokrasi yang sehat, termasuk kritik terhadap institusi-institusi negara seperti kepolisian.
Penggemar Sukatani Band dan pendukung kebebasan berekspresi berharap insiden ini dapat menjadi momentum refleksi bagi semua pihak, terutama lembaga penegak hukum, untuk lebih menghargai pluralitas suara dan kritik konstruktif sebagai bagian integral dari proses demokrasi dan reformasi berkelanjutan.
Sementara itu, video permintaan maaf Sukatani Band terus beredar dan mendapat tanggapan beragam. Beberapa pihak menduga ada tekanan di balik layar yang menyebabkan band tersebut terpaksa meminta maaf dan menarik lagu mereka dari peredaran. Namun, tanpa konfirmasi resmi dari pihak band maupun kepolisian mengenai kronologi lengkap kasus ini, masyarakat hanya bisa berspekulasi.
Yang pasti, kasus Sukatani Band telah menjadi katalisator diskusi penting tentang batas-batas kritik, kebebasan berekspresi, dan reformasi kepolisian di Indonesia. Tagar #KamiBersamaSukatani tidak hanya menjadi ungkapan solidaritas terhadap sebuah band musik, tetapi juga simbol perjuangan yang lebih luas untuk ruang demokrasi yang lebih terbuka dan responsif.