BANDUNG, Kanal Berita – Langkah Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo ( Jokowi) melaporkan lima warga negara ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pencemaran nama baik dan fitnah tentang ijazahnya menuai kritik banyak pihak . Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) mempertanyakan keputusan mantan kepala negara tersebut yang dinilai berlebihan dan tidak bijaksana.
Pelaporan tersebut dilakukan oleh Joko Widodo pada Rabu, 30 April 2025 lalu. Lima orang warga negara dilaporkan atas tuduhan telah menyebarkan informasi bahwa mantan presiden tersebut memiliki ijazah palsu.
Menanggapi langkah hukum yang diambil oleh mantan orang nomor satu di Indonesia tersebut, Ketua Umum Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M.Dai, mengungkapkan keherananannya.
” Wajar jika rakyat mempersoalkan keabsahan yang menjadi syarat administrasi dari seorang pejabat publik dan atau mantan pejabat. Rakyat hanya sekedar menuntut kejujuran pemimpinnya ” terang KH Athian Ali, Rabu (7/5/2025).
Menurut pandangan FUUI, pertanyaan publik mengenai keaslian ijazah seorang pejabat publik bukanlah bentuk penghasutan dan pencemaran nama baik, melainkan upaya masyarakat untuk memastikan integritas dan kejujuran para pemimpinnya. KH Athian menekankan bahwa persoalan ini seharusnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih sederhana dan terbuka.
” Tuduhan penghasutan sangat tidak masuk akal, sepanjang ijazah Jokowi belum dibuktikan asli atau tidak. Sekiranya pak Jokowi mau berpikir dan bertindak praktis maka tinggal ditunjukkan saja ijazahnya, dan persoalan segera akan selesai, tidak perlu berlarut-larut sampai dua tahun sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Rakyat sekedar menanyakan dan ingin pemimpinnya bersikap jujur. Itu saja,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan perihal hukum Islam yang melarang berprasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain yang tertuang dalam Al-Quran surat Al-Hujarat ayat 13, KH Athian memberikan perspektif yang lebih kontekstual. Beliau menjelaskan bahwa tidak semua prasangka dan upaya mencari-cari kesalahan orang lain itu dosa, terutama jika ada alasan kuat untuk mencurigai sesuatu.
“Masa tidak boleh mencurigai atau berprasangka pada orang yang hendak berbuat jahat padahal buktinya sudah jelas. Larangan berburuk sangka dan mencari-cari kesalahan orang lain yang dimaksud dalam ayat tersebut jika ditujukan kepada sesama mumin yang dikenal kejujuran dan kebaikannya, dimana pelaku berburuk sangka dan berupaya mencari-cari kesalahan hanya dengan maksud menjatuhkannya,” terangnya.
Ia juga mencontohkan profesi intelijen yang memang bertugas untuk senantiasa waspada dan berprasangka demi keselamatan masyarakat dan keamanan negara. “Kalau ada petugas intel atau keamanan menganggap semua orang baik, membiarkan dan tidak mempedulikan orang yang patut dicurigai , lalu kemudian terjadi kejahatan yang menimpa masyarakat atau mengancam keamanan negara, maka petugas tersebut justru bisa disalahkan karena telah melalaikan tugas dan kewajibannya” tambahnya.
Lagi pula menurut KH. Athian Ali, ketika Allah SWT mengharamkan berzina, minum khamar dan berjudi misalnya, tidak ditetapkan Allah SWT dengan kata ” Diharamkan ” tapi dengan kalimat ” Jangan dekati” ( QS Al Israa 32) atau kata ” Jauhilah ” ( QS Al Ma-idah 90) dengan tujuan untuk memperluas wilayah hukum, bahwasanya yang diharamkan itu bukan hanya para pezina, pejudi dan peminum khamar saja, tapi juga semua pihak yang terlibat dan turut berperan dalam terjadinya pelanggaran terhadap hukum-hukum tersebut.

Terkait dengan dugaan ijazah palsu, lanjut Ketua FUUI ini, yang disangkakan berburuk sangka dan menyebarkan fitnah belum tentu bersalah karena belum dibuktikan secara hukum apakah ijazah tersebut benar-benar asli atau palsu. Yang berpotensi bersalah justru pihak yang membiarkan kasus ini berlarut-larut sehingga meyenyebabkan timbulnya finah, buruk sangka dan kegaduhan yang seharusnya dihindari oleh setiap orang terutama seorang pemimpin.
Menurut KH Athian, meskipun undang-undang memberikan perlindungan terhadap pencemaran nama baik, namun pertanyaan publik terhadap keaslian dokumen pejabat negara berada dalam ranah kepentingan publik.
“Ada perbedaan antara pencemaran nama baik dan pertanyaan kritis dari publik terhadap pejabat negara. Ini bukan masalah antara individu, tapi antara rakyat yang tentunya memiliki hak untuk mengetahui keabsahan administrasi dan kejujuran dari seorang pejabat negara,” jelasnya.
Di tengah kontroversi ini, KH Athian menekankan pentingnya kejujuran bagi setiap orang, terutama para pemimpin.
“Intinya, setiap orang, apalagi pejabat negara atau publik dituntut untuk berlaku jujur. Terutama bagi seorang muslim, dimana kejujuran merupakan perintah Allah dan bagian dari akhlak mulia seorang yang beriman. Jangan sampai kita memiliki pemimpin yang tidak jujur atau berlaku curang dan khianat,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan pernyataan resmi terkait tindak lanjut dari laporan yang diajukan oleh mantan Presiden Joko Widodo. Bagaimanapun, kasus ini telah memicu diskusi publik yang lebih luas mengenai standar transparansi dan akuntabilitas pejabat publik di Indonesia. [ ]