HeadlineNasional

Pengakuan Israel Merdeka Langgar Amanat UUD 1945, ABABIL: Tolak Two State Solution

265
×

Pengakuan Israel Merdeka Langgar Amanat UUD 1945, ABABIL: Tolak Two State Solution

Sebarkan artikel ini
Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto ( foto:setneg.go.id)

BANDUNG, Kanal Berita – Polemik seputar penyelesaian konflik Palestina-Israel kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pandangan Indonesia mengenai solusi dua negara (two state solution). Pernyataan presiden yang menegaskan bahwa kemerdekaan Palestina merupakan satu-satunya jalan menuju perdamaian sejati, namun disertai pengakuan terhadap hak Israel sebagai negara berdaulat, menuai kritik keras dari  berbagai kalangan, elemen, organisasi hingga pegiat pro-Palestina di Indonesia.

 

Dalam pernyataannya yang dikutip dari media Republika, Presiden Prabowo menyatakan, “Tapi di samping itu pun, saya tegaskan bahwa kita juga harus mengakui dan menjamin hak Israel untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat dan negara yang harus juga diperhatikan dan dijamin keamanannya.”

 

Sikap diplomatik presiden ini segera mendapat respons keras dari Aliansi Bela Palestina Boikot Israel (Ababil), sebuah organisasi yang aktif dalam gerakan solidaritas untuk Palestina. Ketua Ababil, Dani M. Ramdhan, melalui keterangan tertulis pada Kamis (28/5/2025), menyampaikan kritik tajam terhadap pernyataan tersebut.

 

“Pernyataan tersebut jelas tidak bisa diterima (mengakui negara atau normalisasi dengan Israel setelah Palestina merdeka atau two state salution) karena pernyataan tersebut ahistoris, inkonstitusional bahkan menciderai rasa kemanusian, yang harus di ingat bahwa apa yang terjadi di Palestina hari ini bukanlah perang antar negara tetapi jelas itu adalah pendudukan berdasarkan rasis (apharteid) dan penjajahan (kolonialisasi) dan genosida/cleaning etnis (pembantaian),” tegas Dani dalam pernyataannya.

 

Kritik Ababil terhadap konsep two state solution didasarkan pada argumen historis yang mereka anggap fundamental. Organisasi ini menekankan bahwa konflik yang terjadi di Palestina bukan merupakan sengketa teritorial biasa antara dua negara yang setara, melainkan situasi pendudukan kolonial yang disertai dengan praktik apartheid dan genosida terhadap penduduk asli Palestina.

 

Dani lebih lanjut menguraikan perspektif historis organisasinya mengenai keberadaan Israel di tanah Palestina. Menurutnya, Israel tidak memiliki legitimasi historis atas wilayah tersebut karena kedatangan awal mereka ke Palestina adalah sebagai pencari suaka, bukan sebagai pemilik sah tanah tersebut.

 

“Israel sejengkal pun tidak punya hak mengambil tanah Palestina karena jelas awal mula mereka datang ke Palestina sebagai pencari suaka (atas terjadinya peristiwa Holocaust) bukan tuan tanah seperti rakyat Arab-Palestina sebagai pemilik sah,” jelasnya.

 

Ketua Ababil juga menyoroti peran Deklarasi Balfour tahun 1917 sebagai titik awal masalah. Deklarasi yang dikeluarkan oleh Inggris ini mendukung gagasan pembentukan tanah air Yahudi di Palestina, yang kemudian memicu gelombang migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari berbagai belahan dunia ke Palestina.

 

“Kemudian pada tahun 1917 terjadi deklarasi Balfour (deklarasi penghianatan) yang dikeluarkan oleh Inggris, untuk mendukung gagasan tanah air Yahudi di Palestina, ini lah sebagai awal mula terjadinya migrasi besar-besaran kaum yahudi dari berbagai penjuru dunia. Maka jelas Israhell itu tidak punya negara maka ketika kita mengakui Israhell sebagai negara berarti kita sudah membenarkan atas penjajahan yang dilakukan Israel selama ini, wal iyadzu billahi min dzalik,” tambah Dani.

 

Organisasi Ababil secara tegas menolak konsep two state solution dengan alasan ideologis dan strategis. Mereka berpendapat bahwa solusi dua negara justru sejalan dengan kepentingan Israel dan sekutunya, terutama Amerika Serikat, karena memberikan legitimasi terhadap keberadaan Israel sebagai negara.

 

“Solusi 2 negara (two state salution) itu jelas bukan solusi, karena memang itu yang diinginkan oleh penjajah Israel dan sekutunya Amerika cs yaitu adanya pengakuan terhadap negara haram Israel,” imbuh Dani.

 

Kritik paling keras dari Ababil tertuju pada aspek konstitusional dari pernyataan presiden. Organisasi ini menganggap bahwa pengakuan terhadap Israel, bahkan dalam kerangka two state solution, bertentangan dengan amanat konstitusi Indonesia, khususnya Pembukaan UUD 1945.

 

Ababil menegaskan bahwa sikap dan pernyataan yang mengakui dua negara merupakan “sebuah kedholiman yang tidak bisa diterima oleh kita sebagai muslim dan warga negara Indonesia.” Mereka merujuk pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “bahwasannya penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

 

Interpretasi Ababil terhadap konstitusi ini menjadikan isu Palestina bukan hanya sebagai masalah kebijakan luar negeri, tetapi juga sebagai kewajiban konstitusional Indonesia untuk menolak segala bentuk penjajahan di dunia, termasuk yang mereka anggap dilakukan Israel terhadap Palestina.

 

Organisasi ini juga menegaskan penolakan kategoris terhadap segala bentuk normalisasi hubungan dengan Israel. Mereka menuntut penghentian total apa yang mereka sebut sebagai penjajahan dan mendesak Israel untuk keluar sepenuhnya dari wilayah Palestina.

 

“Ababil juga menegaskan bahwa tidak ada kata normalisasi untuk Israel, hentikan penjajahan! dan Israel keluar dari Palestina! tanpa syarat,” tegas Dani.

 

Posisi Ababil mencerminkan pandangan yang tegas daripada pendekatan diplomatik pemerintah Indonesia. Sementara pemerintah mengadopsi sikap yang mencoba menyeimbangkan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dengan pengakuan terhadap realitas geopolitik kawasan, Ababil menuntut solusi yang lebih nyata.

 

“Pilihannya hanya satu, Palestina merdeka dan Israel keluar dari tanah Palestina,” pungkas Dani, menegaskan posisi organisasinya yang tidak memberikan ruang untuk kompromi dalam bentuk apapun. [ ]

Example 300x600