BANDUNG, Kanal Berita – Menjelang Idul Fitri, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) menyoroti praktik pengelolaan zakat fitrah yang selama ini terjadi di masyarakat. Melalui ketuanya, KH Athian Ali M.Dai, FUUI menekankan perbedaan fundamental antara zakat fitrah dan zakat maal, terutama dalam hal penyaluran dan peran amilin (pengelola zakat).
Dalam penjelasannya, KH Athian menegaskan bahwa zakat fitrah merupakan kewajiban semua umat Islam menjelang Idul Fitri, berbeda dengan zakat maal yang hanya diwajibkan bagi muslim yang kaya dengan ketentuan haul dan nisab tertentu. Zakat fitrah bertujuan menyempurnakan kesucian jiwa mu’min setelah menunaikan ibadah shaum Ramadhan.
“Diharapkan semua muslim mengeluarkan zakat fitrah. Dalam hadits Rasulullah Saw yang diiriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar ra bahwa ‘Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan atas setiap jiwa Muslim, baik merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun wanita, kecil ataupun besar, sebanyak satu sha’ kurma atau gandum’ (HR Muslim),” jelas KH Athian.
Menurut KH Athian, hanya orang fakir yang tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah. “Mereka ini justru yang berhak mendapat zakat fitrah. Karena menurut hadits tersebut jangan sampai saat hari Raya Idul Fitri ada orang atau keluarga yang tidak makan,” terangnya.
Kerancuan Penerapan Delapan Asnaf pada Zakat Fitrah
Salah satu masalah utama yang disoroti KH Athian adalah adanya kerancuan dalam penerapan delapan asnaf (golongan penerima zakat) pada pengelolaan zakat fitrah. Ia menekankan bahwa delapan asnaf sesuai dengan Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60 sebenarnya diperuntukkan bagi mustahik zakat maal, bukan zakat fitrah.
“Saya perhatikan ini yang terjadi selama ini khususnya saat menjelang Idul Fitri dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat fitrah yang berdasarkan 8 asnaf. Padahal 8 asnaf penerima zakat itu untuk zakat maal bukan zakat fitrah,” jelasnya.

Ketua FUUI tersebut juga mengkritisi praktik amilin dalam zakat fitrah. Ia memberikan contoh kasus yang menurutnya tidak logis, seperti ketika orang kaya mengeluarkan zakat fitrah sebesar 2,5 kg beras, namun sebagai amilin ia mendapatkan jatah 25 kg beras misalnya.
“Untuk apa dia mengeluarkan 2,5 kg beras jika kemudian sebagai amilin mendapat jatah 25 kg misalnya. Maka ini seperti ia double status yakni sebagai muzaki (yang mengeluarkan zakat) sekaligus juga mustahik (penerima zakat). Ini tidak masuk akal,” tegas KH Athian.
Contoh Anomali Lain dalam Praktik Zakat Fitrah
KH Athian juga mengilustrasikan anomali praktik zakat fitrah dengan memberikan contoh pembantu rumah tangga yang mengeluarkan zakat fitrah, lalu zakatnya diterima oleh majikan yang kaya karena posisinya sebagai amilin.
“Lalu sang majikan karena menjadi amilin akan ada bagian dari zakat fitrah yang dikeluarkan oleh sang pembantu tersebut. Coba kita renungkan, bukankah ini semakin kacau dimana yang miskin (Asisten rumah tangga) memberikan zakat kepada yang kaya (majikan yang menjadi amilin). Jangan sampai ada anggapan zakat fitrah itu, zakat yang dikeluarkan asisten rumah tangga untuk majikan. Ini bisa kacau praktiknya,” jelas KH Athian.
Ia menekankan pentingnya menyampaikan persoalan ini untuk menghindari kesalahan yang fatal, memakan harta yang haram.. “Jangan sampai seseorang nanti di hari raya (Idul Fitri) justru memakan yang bukan haknya. Jangan sampai sebulan mampu menahan diri dari yang halal (karena shaum ), begitu tanggal 1 syawal justru memakan harta haram yang bukan haknya” ujarnya.
Solusi Ketika Zakat Fitrah Berlebih
Menurut KH Athian, zakat fitrah sepenuhnya milik fakir miskin dan tidak ada hak untuk amilin. Namun, jika setelah dibagikan kepada seluruh fakir miskin ternyata masih ada sisa, ia menawarkan solusi berdasarkan fatwa Khalifah Umar bin Khatthab.
“Hal ini berdasarkan fatwa Khalifah Umar bin Khatthab bahwa boleh membagikan kepada fakir yang kelaparan meski mereka non muslim. Namun ini fatwa Umar yang masih bisa kita diskusikan. Namun Umar saat itu berpendapat bahwa saat hari Raya Idul Fitri semua harus bahagia, jangan sampai ada yang tidak makan,” jelas KH Athian.
Ia juga menekankan bahwa fakir miskin yang telah memiliki cadangan makanan untuk beberapa hari tetap wajib mengeluarkan zakat fitrahnya.
Kritik terhadap Praktik Pendistribusian
KH Athian mengkritisi praktik beberapa DKM Masjid atau panitia zakat fitrah yang terlalu kaku dengan pemahaman bahwa zakat fitrah harus habis dibagikan sebelum shalat Idul Fitri, sehingga terkadang dibagikan secara sembarangan kepada orang yang ditemui di jalan, tidak perduli apakah mereka mustahik zakat fitrah atau bukan.
” Prinsip bahwa zakat fitrah harus habis terbagi sebelum shalat Idul Fitri itu benar, tetapi tentu saja harus kepada mustahiknya. Kalau sudah tidak ada mustahiknya, apakah tetap harus dihabiskan dengan didistribusiksn kepada yang tidak berhak menerima ? Menurut saya lebih baik disimpan dulu dari pada dibagikan kepada yang bukan mustahiknya ,” ujarnya.
KH Athian menyarankan agar zakat yang tersisa tetap disalurkan kepada fakir miskin di lain waktu dalam bentuk yang lebih produktif, seperti pemberian modal usaha untuk membantu mereka berubah dari mustahik menjadi muzaki.
Potensi Besar Zakat Fitrah di Indonesia
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per Juni 2024, jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 245,93 juta jiwa. KH Athian memperkirakan potensi zakat fitrah yang luar biasa jika dikelola dengan baik.
“Misal dikali 2,5 kg beras maka akan terkumpul 6.148.250 ton beras. Atau misal zakat fitrahnya diganti uang sebesar Rp.40.000 (sesuai ketetapan Baznas) per jiwa maka akan terhimpun sekira Rp. 9,837,200,000,000 (Rp. 9,83 triliun). Ini terhimpun dan terbagikan dalam satu malam. Bayangkan jika potensi zakat fitrah tersebut diberdayakan yang lebih maksimal,” terang KH Athian.
Usulan Pengelolaan Zakat Fitrah Berbasis Masjid
Secara pribadi, KH Athian mengusulkan agar fakir miskin langsung ditangani oleh masjid di sekitar tempat tinggal mereka, dengan sistem pendataan yang rapi untuk menghindari duplikasi data.
“Dengan demikian masjid-masjid membina dan menyantuni fakir miskin yang terdata dan saya yakin semua fakir miskin akan terdata. Jika hal demikian bisa terwujud maka kemiskinan dengan mudah sangat bisa ditangani. Lalu yang tadinya jadi mustahik lambat laun akan berubah jadi muzaki,” imbuh KH Athian.
Ia juga menegaskan bahwa yang sebenarnya disebut amilin adalah mereka yang bekerja penuh waktu (full time) menghimpun dan mendayagunakan zakat maal, bukan panitia zakat fitrah yang hanya bekerja beberapa saat menjelang akhir Ramadhan.
“Inilah dari beberapa pemikiran, renungan dan usulan yang saya sampaikan. Tentu terbuka lebar ruang untuk diskusi dengan ulama atau ahli ilmu lainnya,” pungkas KH Athian.
Artikel ini menggambarkan pemikiran dan usulan KH Athian Ali terkait pengelolaan zakat fitrah, yang diharapkan dapat mendorong diskusi dan perbaikan praktik di masyarakat. [ ]