HeadlineRegional

Tolak GSG Jadi Rumah Ibadah, Warga Arcamanik: Kembalikan Sesuai Fungsinya

131
×

Tolak GSG Jadi Rumah Ibadah, Warga Arcamanik: Kembalikan Sesuai Fungsinya

Sebarkan artikel ini
Warga Arcamanik
Sejumlah warga Arcamanik Kota Bandung melakukan aksi damai menuntut penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) sesuai dengan fungsi, bukan tempat ibadah. ( foto: abah ibrahim)

BANDUNG, Kanal Berita – Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka menggelar unjuk rasa menolak penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik di Jalan Sky Air, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung, sebagai tempat ibadah oleh umat Kristen, Kamis (17/4/2025) sore.

 

Warga menilai penggunaan GSG Arcamanik telah melanggar aturan karena sejak awal gedung tersebut dibangun sebagai fasilitas umum untuk warga, bukan sebagai tempat ibadah. Selain itu, alih fungsi tersebut disebut tidak disertai izin resmi maupun sosialisasi kepada masyarakat sekitar.

 

Inti Penolakan dan Tuntutan Warga

 

Menurut Budi Haryono, selaku koordinator aksi menyampaikan bahwa penolakan tersebut bukan karena sikap intoleran atau melarang orang beribadah, melainkan murni karena ada alih fungsi GSG yang dinilai telah bergeser tanpa prosedur yang sesuai.

 

“Intinya dialog, tuntutan kita tidak melarang orang melakukan ibadah tapi yang kita permasalahkan fungsi GSG tadi. Sampai tahun 2022 itu aman tidak ada masalah, setelah Covid-19 bukan dipakai sebulan sekali tapi setiap minggu,” ujar Budi.

 

Lebih jauh Budi menjelaskan bahwa GSG Arcamanik dibangun pada tahun 1985 untuk kepentingan warga, seperti kegiatan pertemuan dan kegiatan sosial lainnya termasuk olahraga. Ia juga menekankan bahwa selama 35 tahun, penggunaan gedung tidak pernah menimbulkan persoalan, bahkan ketika sesekali digunakan untuk kegiatan keagamaan.

 

BACA JUGA: Warga Arcamanik Minta GSG Dikembalikan Fungsinya

 

“Artinya kami tuntut kembalikan fungsi awal sebagai GSG dan urus perizinannya. Kita hidup di NKRI yang negara hukum maka taati sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.

 

Warga sendiri mengaku telah mencoba berkomunikasi dan berdialog dengan perwakilan gereja yang menggunakan gedung tersebut, namun belum mendapat tanggapan yang berarti, sehingga memilih menggelar aksi sebagai ekspresi ketidakpuasan kepada pihak terkait dalam menyelesaikan masalah.

 

Indikasi Pelanggaran Prosedur Aturan

Sementara Ketua Gerak Jabar M.Roinul Balad yang juga berada dilokasi memberikan pernyataan terkait hal ini. Menurutnya terkait pendirian termasuk alih fungsi menjadi rumah ibadat di Indonesia sudah jelas tertuang dalam SKB 3 Menteri dan SPB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah.

 

“Pertama dalam peraturan tersebut menjelaskan juga terkait dengan aturan penyiran agama khususnya kepada orang yang sudah beragama. Hal ini tentu dimaksudkan untuk menjaga harmonisasi di masyarakat khususnya kerukunan antar umat beragama,” terangnya.

 

Ia menambahkan kedua aturan tersebut merupakan produk hukum yang sah hingga saat ini dan belum ada perubahan. Ini semua, sambungnya, merupakan Upaya merawat dan menjaga suasana kondusif di Masyarakat dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

 

“Untuk itu semua pihak mentaati dan menuruti semua aturan yang ada dan masih berlaku tersebut,”imbuhnya.

 

Khusus untuk kasus di Arcamanik, menurut Roin, sangat jelas ada indikasi pelanggaran aturan dimana adanya alih fungsi bangunan dari GSG menjadi tempat ibadah (gereja). Dimana fungsi GSG tersebut diperuntukkan untuk Masyarakat Arcamanik sebagai fasilitas umum dan sosial sebagaimana IMB atas bangunan tersebut.

 

“Namun dikemudian hari ada perubahan kepemilikan atas lahan tersebut ada indikasi oleh developer lahan tersebut dijual kepada seseorang. Kemudian orang tersebut menjualnya kepada seorang pendeta atau pengurus gereja. Maka dari kronoligis atau riyawat tanah tersebut ada pelanggaran yang haru dikaji dan diteliti secara mendalam dan harus ada keputusan hukumnya,”terangnya.

 

Namun, sambungnya, dibalik semua itu kepemilikan GSG tersebut siapa pun pemiliknya hingga saat ini maka fungsinya ada sebagai gedung pribadi bukan rumah ibadah yang dalam hal ini berubah menjadi gereja.

 

“Maka disini jelas ada pelanggaran dimana alih fungsi dari GSG menjadi gereja maka hendaknya semua pihak dapat memahami inti persoalannya. Jadi jelas disini warga Arcamanik tidak menolak atau menghalangi orang lain beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Tetapi yang ditolak warga adalah alih fungsi bangunan maka tuntutannya juga jelas, kembalikan GSG sebagai dengan fungsinya seperti semula,” jelasnya.

 

Menurutnya penolakannya sendiri sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan warga sendiri sejak awal juga sudah melayangkan protes dan keberatan atas alih fungsi bangunan tersebut. Sementara terkait pihak gereja yang mengaku sedang menempuh perijinan, menurut Roin, selama masih dalam proses maka status gedung tersebut masih berfungsi sebagai GSG dan tidak dapat otomatis berubah menjadi tempat ibadah (gereja).

 

“Sebagaimana arahan dari aparat kepolisian dan juga Bapak Bambang Sukardi selaku Kepala Kesbangpol Kota Bandung bahwa semua pihak ( baik warga maupun pihak gereja) harus mentaati aturan yang berlaku dan tidak boleh ada yang memaksakan kehendaknya. Namun jelas nyata adanya pihak mereka yang ngotot memaksakan kehendaknya dengan ngotot menggunakan GSG tersebut sebagai tempat ibadah umum padahal tidak ada dasar hukum yang dimiliki,” terangnya.

 

Kembalikan Fungsi GSG Sesuai Peruntukannya

Untuk itu dirinya mengajak semua pihak untuk taat hukum dan aturan yang berlaku khususnya dalam pendirian rumah ibadah. Sebab, sambungnya, jika kondisi demikian terus dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian yang berkeadilan, justru akan menjadi perseden buruk bagi Kota Bandung dan Jawa Barat pada umumnya seolah telah terjadi penolakan dan pelarang orang beribadah atau tindakan toleransi.

 

“Padahal kenyataan dilapangan justru yang terjadi adalah adanya pelanggaran alih fungsi bangunan, tidak ada prosedur hukum yang ditempuh dalam proses pendirian rumah ibadah, adanya pemaksaan kehendak dari salah satu pihak untuk menggunakan GSG sebagai rumah ibadah. Ini yang perlu dicatat dan digarisbawahi ,”tegasnya.

 

Selain itu, sambungnya, pihak pemerintah Kota Bandung dalam hal ini Walikota Bandung sudah mengingstruksikan kepada pihak terkait termasuk para camat ada untuk sementara merekolasi dan menyediakan GSG kecamatan sebagai tempat ibadah mereka sementara. Namun, jelas Roin, mereka menolaknya dan tetap memaksakan diri menjadikan GSG Arcamanik sebagai rumah ibadah.

 

Warga Arcamanik
Spanduk tuntutan warga Arcamanik Kota Bandung ( foto: abah ibrahim )

 

“Jadi jelas siapa yang toleransi dan memaksakan kehendaknya? Sekali lagi catat, bahwa warga tidak pernak melarang atau menolak atau menghalagi agama lain beribadah karena itu hak azasi. Yang ditolak warga adalah alih fungsi GSG dan menuntut agar mengembalikan GSG sebagaimana fungsi awalnya,”imbuhnya.

 

Roin meminta jika saat ini status GSG tersebut bermasalah secara hukum maka hendaknya diselesaikan secara hukum juga. Jika dianggap bersengketa,sambungnya, maka silakan GSG tersebut disegel dulu sehingga tidak ada pihak yang memanfaatkannya baik jemaat maupun warga.

 

“Silakan pihak Pemerintah Kota Bandung dalam hal ini Satpol PP atau Kesbangpol atau siapa pun yang memiliki kewenangan untuk menyegel gedung GSG tersebut. Kemudian diselesaikan secara prosedur hukum yang jujur dan adil. Selama dalam status quo maka GSG tersebut tidak ada yang boleh memakainya siapa pun itu sampai nanti ada keputusan hukum,” pungkasnya.

 

BACA JUGA: Penolakan Warga Arcamanik Bukan Bentuk Intoleransi Agama, Hanya Penegakan Alih Fungsi Bangunan

 

Penjelasan PGAK

Sementara itu dikutip dari BandungBergerak.id, Dyah Nur Susanti, selaku perwakilan umat PGAK Santa Odilia menjelaskan pihak Gereja meyakini jika lahan dan bangunan gedung yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik ini sejak awal tercatat sebagai aset yang digunakan untuk peribadatan umat.

 

Dyah menjelaskan pada awalnya, pada 1988, lahan tersebut dimiliki atas nama Yosep Gandi, yang ketika itu sebagai pastor Paroki Santa Odilia, sebelum dihibahkan dan disertifikatkan sebagai hak milik Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia pada Juni 2024 lalu.

 

Menurut pihak Gereja, tidak pernah GSG Arcamanik berfungsi sebagai Fasum atau Fasos. Pihak gereja membuka pintu bagi warga sekitar untuk turut memanfaatkan lahan dan gedung merupakan inisiatif sesuai kebijakan Keuskupan Bandung.

 

“Sejak awal memang dinamai Gedung Serba Guna (GSG) karena ada surat dari Keuskupan (Bandung) untuk mengonfirmasi bahwa gedung yang diatasnamakan pribadi pastor tersebut bisa untuk kepentingan umum juga,” terang Dyah Nur Susanti, perwakilan umat PGAK Santa Odilia, dilansir dari BandungBergerak, Kamis (6/3/2025)

 

Penyelesaian Secara Hukum

Sebagaimana diketahui, aksi protes dan penolakan massa terhadap pemanfaatan GSG Arcamanik ini bukan kali pertama. Diketahui, konflik telah berlangsung sejak dua tahun lalu. Dialog dan mediasi sudah ditempuh dengan melibatkan Pemerintah dan DPRD Kota Bandung, tapi tak kunjung membuahkan kata sepakat.

 

Sejumlah pihak meminta permasalahan tersebut berharap untuk segera diselesaikan dengan berprinsip keadilan dan kepatuhan pada hukum. Penyelesaian kasus rumah ibadah harusnya menggunakan aturan yang berlaku di Indonesia. Para pihak yang berkonflik dapat menempuh jalur hukum dengan jujur dan menjaga wibawa hukum.

 

Tidak segera terselesaikannya kasus rumah ibadah di Arcamanik tersebut dapat terus memicu konflik horizontal di Masyarakat serta dapat mengganggu kebebasan orang menunaikan ibadah sesuai agama dan keyakinan. Hendaknya tidak ada istilah minoritas dan mayoritas untuk menyelesaikan konflik tersebut, karena pada prinsipnya semua orang sama kedudukannya di mata hukum, pelanggar aturan tetap sebagai melawan hukum yang harus dihukum.

 

Fungsi pemerintah sebagai pihak yang membuat, mengeluarkan aturan dan kebijakan diharapkan menjadi pengayom bagi Masyarakat. Ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan konflik Masyarakat harus dilakukan dengan menjunjung prinsip keadilan  dan kejujuran hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjaga wibawa pemerintah dimata Masyarakat dan hukum. [ ]

Example 300x600
Khutbah Jumat
Headline

Potret ketidakjujuran bangsa ini memuncak dalam kasus korupsi yang seolah menjadi praktik yang tidak   lagi dianggap tabu. Tak heran bila kondisi Indonesia saat ini termasuk dalam kategori pengindap penyakit kronis dengan tingkat korupsinya sangat tinggi.