BANDUNG,Kanal Berita – Kasus penistaan agama kembali menjadi sorotan publik setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Subang menjatuhkan vonis maksimal 5 tahun penjara kepada terdakwa HS alias D alias A alias RBMA pada Senin (17/3/2025). Terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak pidana penodaan terhadap agama Islam.
Dani M. Ramdhan, Ketua Pembela Ahlus Sunah (PASS), mengapresiasi keputusan majelis hakim tersebut meskipun menurutnya hukuman itu masih belum ideal. Dalam keterangannya kepada wartawan di Bandung, Jumat (21/3/2025), Dani menilai putusan tersebut patut diapresiasi karena melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Bisa dibilang luar biasa karena tuntutan JPU sendiri hanya 4,5 (empat setengah) tahun tapi kemudian hakim memutuskan maksimal 5 tahun, ini sudah harus diapresiasi,” ungkapnya.
Bentuk Penistaan yang Dilakukan
Menurut Dani yang telah mengawal jalannya persidangan sejak awal, terdapat beberapa hal yang memberatkan terdakwa dalam kasus ini. Penistaan terhadap ajaran Islam yang dilakukan terdakwa dinilai sangat jelas dan menyentuh aspek fundamental dalam agama tersebut.
“Pertama, penistaan terhadap agama Islam itu sangat jelas sekali diantaranya menghilangkan sholat 5 waktu dan shaum atau puasa. Padahal 2 hal itu merupakan perkara yang prinsip dalam Islam dimana 2 hal tersebut merupakan bagian dari rukun Islam, artinya kalo tidak melakukan 2 hal tersebut sudah dianggap keluar dari Islam sehingga tidak layak untuk menamakan dirinya sebagai bagian dari agama Islam,” terang Dani.
Dia juga menjelaskan bahwa terdakwa mencampuradukkan ajaran Islam dengan Buddha, yang diakui oleh semua pihak termasuk saksi yang memberatkan maupun meringankan. Selain itu, terdakwa dinilai tidak mengakui perbuatannya meskipun alat bukti telah terungkap dengan jelas.
Pelanggaran Hukum Lainnya
Dalam penyelidikan kasus ini, terungkap pula berbagai pelanggaran hukum lain yang dilakukan oleh terdakwa namun tidak masuk dalam tuntutan. Dani menyebutkan beberapa di antaranya adalah pernikahan dengan anak di bawah umur, pernikahan tanpa wali, serta dugaan penipuan publik dengan memungut bayaran dari jemaah dengan janji-janji yang tidak terpenuhi.
“Keempat, banyak pelanggaran pidana lain yang tidak masuk kedalam tuntutan tapi secara de fakto itu terjadi, misalkan menikahi anak dibawah umur, menikah tidak/tanpa wali (orang tua), kemudian penipuan publik dengan memungut bayaran dari jama’ah dengan iming-iming mendapatkan yang lebih tetapi janjinya itu tak kunjung datang,” imbuhnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Dani, adalah adanya indikasi upaya makar dengan mendirikan negara dalam negara, lengkap dengan sistem administrasi sendiri termasuk KTP dan Kartu Keluarga. Hal ini dianggap memiliki potensi merusak yang kompleks sehingga wajar jika dijatuhi hukuman maksimal.

Fenomena Penistaan Agama di Indonesia
Kasus penistaan dan pelecehan terhadap agama, khususnya ajaran Islam, masih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia dengan beragam bentuk. Dani berpendapat bahwa fenomena ini terjadi karena hukuman yang berlaku saat ini masih jauh dari ideal dan maksimal.
“Dalam Islam perbuatan penista ajaran Islam itu hukumnya bisa dipancung atau dieksekusi (hukum gantung) tergantung kepada jenis pelanggarannya, misal kita lihat pada jaman masa kekhilafahan abu bakar ada sekelompok orang yang enggan membayar pajak maka pada saat itu abu bakar radhiyallohu anhu sebagai pimpinan tertinggi langsung mengirim pasukan untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat, sehingga mereka mau tidak mau harus tunduk kepada pemerintah jika tidak berarti mati,” jelasnya.
Usulan Pemberatan Hukuman
Banyak kalangan, terutama para ulama, menilai bahwa hukuman maksimal 5 tahun penjara bagi pelaku penistaan agama di Indonesia masih terlalu ringan. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat para pelaku tidak jera.
Dani mengusulkan solusi yang lebih tegas. Menurutnya, jika hukuman mati bagi penista agama masih dianggap tabu di Indonesia, maka alternatifnya adalah hukuman penjara seumur hidup.
“Ini akan menimbulkan efek jera dan tidak akan mungkin mengulangi lagi perbuatannya karena akan pelaku akan mati dipenjara,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dani menjelaskan bahwa jika pelaku penista agama tidak bertaubat, setidaknya dengan hukuman seumur hidup dia tidak akan bisa menyebarkan lagi ajaran sesatnya. Hal ini juga akan mencegah munculnya korban-korban baru dan efektif memutus rantai penyesatan.
Penanganan Pengikut Aliran Sesat
Selain memberikan hukuman kepada pemimpin atau penggagas aliran sesat, penanganan terhadap para pengikutnya juga perlu mendapat perhatian. Menurut Dani, sebagian besar korban dari ajaran sesat adalah orang-orang awam yang belum memahami ajaran Islam yang benar dan mendalam.
Dalam kasus ini, Dani menyoroti perlunya penanganan khusus bagi para anggota jemaah yang meninggalkan keluarganya. Mereka perlu dikembalikan kepada keluarga dan diberikan kesempatan serta dukungan secara moril dan materil untuk dibimbing kembali ke jalan yang benar.
“Kemudian harus ada rehabilitasi baik mental atau ruhiyah maupun pemahaman ilmu keagamaannya sehingga mereka bisa mendapatkan pencerahan dan pemaham Islam yang benar,” terangnya.
Dani berharap lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat (Ormas) Islam untuk bersinergi dalam dakwah dan pembinaan para mantan anggota aliran sesat.
“Dengan memberikan bimbingan dan mengarahkan kepada pemahaman Islam yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma para Ulama mudah-mudahan para korban tersebut taubat dan mampu membentengi diri dan keluarganya dari bujuk rayu paham sesat dan menyesatkan,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pemahaman agama yang benar dan kewaspadaan masyarakat terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Peran aktif pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat diperlukan untuk mencegah merebaknya aliran-aliran sesat yang berpotensi menimbulkan keresahan dan perpecahan di tengah masyarakat.
Sementara itu, pihak kepolisian dan kejaksaan diharapkan terus mengawasi dan menindak tegas segala bentuk penistaan dan penyimpangan ajaran agama yang dapat mengancam harmoni sosial dan kehidupan beragama di Indonesia.